Beberapa hari yang lalu, anak-anak (Pradeas, Aedoh/Edo, Dhita, Meisya: Pemuda Rejosari, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, DIY) minta teks yang saya susun menjelang malam tirakatan 17 Agustus 2009. Cari-cari di arsip file, bongkar-pasang, bolak-balik keping Data DVD, .. akhirnya ketemu juga meski capek dan ngantuk.
Tapi, dibalik capek dan ngantuk itu, terbersit juga rasa bangga karena setelah beberapa tahun anak-anak tidak menampakkan keaktifannya, tahun ini mereka seperti tergugah kembali untuk mengisi kegiatan, meski generasi penerus tersebut masih terlalu belia. Semangat untuk menghormati para pendahulu dan pahlawannya mulai tampak tumbuh disamping mulai menyalanya keberanian untuk menunjukkan jati dirinya sebagai pemuda.
Daripada nanti di tahun-tahun berikutnya nya ribet lagi, yang edisi 2014 ini biar saya unggah saja ke Blog supaya jika ada yang "Ngersak-ke", mudah dicari lewat pintu "Mbah Google" dan tinggal edit disana-sini.
"Inggih mangga, menawi ngersakken ngundhuh..!"
TEKS RENUNGAN MALAM TIRAKATAN
HUT KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA KE-69
Minggu, 17 Agustus 2014 Jam 00.00 WIB
Malam semakin
larut, angin semilir lembut seakan ingin berhenti sama sekali
untuk memberikan hormat dan mengucapkan salam kepada negeri tercinta yang
memiliki berjuta-juta keindahan.
Saat sejenak lampu
kita padamkan, tampak tebaran bintang dilangit
laksana permata beraneka warna.
Kita teringat masa
kecil yang indah, disaat terang bulan, kita berlari kesana-kemari, bernyanyi,
bercanda dan tertawa tanpa beban.
Teringat pula, kita
sering berjalan dipematang sawah diwaktu sore sambil menikmati semilirnya angin
dan gemericiknya air di kali. Jika senja datang, kita turun ke sungai dan mandi
di belik yang airnya bening.
Di kala malam menjelang,
dalam gendongan Ibu, kita mendengarkan
cerita turun temurun bahwa dilangit sana ada “Lintang Gubug Penceng, Lintang Luku, Lintang Panjer-Wengi”, dan
sesekali ada “Lintang Kemukus” yang
mendebarkan.
Disaat lain, orang
tua kita juga sering bercerita bahwa negeri ini pernah mengalami masa-masa
pahit dan penuh kesengsaraan saat bumi persada ini ada dalam genggaman penjajah.
Waktu itu,
kakek-nenek yang masih semuda kita, dan leluhur-leluhur dusun ini tidak sempat berlama-lama menikmati indahnya
malam bulan purnama karena mereka hidup dalam suasana penuh rasa takut,
khawatir dan tidak menentu.
Mana mungkin mereka
bisa bertamasya bermandi cahaya bulan dan menari-nari dibawah gemerlapnya
bintang sementara seharian mereka tidak
makan dan tubuhnya terasa gatal karena diserbu
kutu yang bersarang di “karung goni”
yang mereka kenakan.
Begitu lama mereka
harus berjuang dan bertahan hidup di masa penjajahan.
Alhamdulillah, dengan
berbekal ketabahan dan keikhlasan, perjuangan mereka akhirnya dikabulkan
Tuhan. Jum’at, 17 Agustus 1945 Sukarno-Hatta
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, meski setelah itu “Jabang Bayi RI” masih
harus mengalami jatuh bangun untuk menjaga agar Sang Merah-Putih tetap berkibar
di angkasa dan “Sang Rajawali” Garuda
Pancasila terbang dilangit Nusantara.
-oOo-
Kini kita telah menikmati kemerdekaan. Sebuah kemerdekaan yang diraih melalui
perjuangan panjang para pendahulu kita, para pejuang, dan para pahlawan yang pusaranya bertebaran menghiasi persada
negeri. Mereka semua telah ikut menegakkan panji-panji kebesaran negeri ini. Mereka telah berkorban dengan pikiran, tenaga, harta, darah dan bahkan
nyawanya, demi berkibarnya “Sang
Merah-Putih”.
Betapa mahalnya
tebusan untuk berkibarnya bendera kebanggaan kita, dan betapa ikhlasnya para
pendahulu kita dalam menegakkan kedaulatan negeri ini.
Marilah, marilah di malam yang sunyi ini kita hening sejenak untuk sekedar mengingat dan mendoakan mereka yang telah
ada di-haribaan Tuhan.
Mereka tidak
menuntut kita untuk memanggul senjata, mereka tidak meminta kita untuk
siang-malam berkeliaran mengintai musuh, mereka juga tidak menghendaki kulit
dan daging kita tergores oleh senjata hingga darah menetes ke bumi.
Mereka terlalu
sayang pada kita, mereka telah banyak berbuat demi kehidupan kita yang aman,
damai dan bermartabat tanpa
diusik oleh bangsa lain yang sengaja akan menjajah negeri ini.
Sepantasnya kita merenung dan bercermin, sudahkah kita mampu mempersembahkan karya
bhakti bagi mereka dan bagi negeri ini?
Jangan-jangan, malam
ini sementara kita bergembira dan
tertawa-ria, arwah mereka justru sedang menangis, meratapi tingkah kita yang
jauh dari harapan para pendahulunya?
Harus kita akui, mata
dan telinga kita sering tertutup oleh gemerlapnya dunia yang serba memukau sehingga mata hati kita dibutakan, dan kita menjadi tak pandai melihat
tanda-tanda kemunduran dan kerusakan tatanan kehidupan di sekitar kita, di negeri ini.
Tentu kita semua
berharap, semoga disekitar kita sudah tidak ada “Orang tua yang mengabaikan masa depan anaknya” atau “Menelantarkan keluarganya”.
Semoga tak ada pula diantara kita yang muda ini, setiap saat memaksakan kehendak
karena menganggap bahwa diri kita lebih hebat dari orang
lain.
Dan semoga tak ada
pula diantara kita, menyalah-gunakan kepercayaan orang tua dengan melakukan tindakan
tak terpuji, sementara Bapak-Ibu membanting tulang, mencari nafkah demi keberhasilan
kita.
Mari kita tanyakan
pada nurani kita, apakah kita akan membiarkan diri kita tersesat dan menyerah untuk
diperbodoh atau dijajah kembali?
Jika demikian,
apa artinya Sultan Agung menggempur
Batavia, Nyi Ageng Serang membentengi Bumi Menoreh, Pangeran Diponegoro
mengobarkan Perang-Jawa, dan Bung Tomo menggelorakan semangat arek-arek Surabaya
melawan tentara Sekutu?
Apa pula artinya selama
ini kita bergembira dengan mengadakan lomba-lomba yang penuh tawa dan tepuk tangan serta pentas-pentas yang penuh
dentuman musik dan sorot lampu warna-warni?
Apakah semua itu justru sekedar sebagai kamuflase karena kita tidak bisa berbuat
sesuatu yang berarti untuk kejayaan negeri ini?
Marilah kita
sadari, ternyata kita telah menjadi bangsa yang lemah, bangsa yang manja dan
tak menghargai warisan jiwa ksatria dari para pendahulu kita.
Mestinya kita malu
karena ternyata kita sering mengkhianati diri sendiri, kedua orang tua , leluhur dan para pahlawan negeri tercinta Indonesia.
-oOo-
Perjalanan kita masih panjang, dan
negeri ini masih selalu menanti dharma-bhakti para pemudanya.
Esok pagi, saat matahari
bersinar diufuk timur, itulah waktunya
kita berbenah diri, menggelorakan
semangat dan menyingsing-kan lengan baju untuk berbuat
lebih banyak bagi Nusantara, negeri nan indah laksana bentangan permadani dengan untaian permata di Khatulistiwa.
Ikatkan pita
merah-putih di kepala, kibarkan Sang Dwi Warna, melangkahlah dengan tegap penuh
percaya diri.
Melompatlah tinggi kelangit,
raihlah bintang-bintang untuk dipersembahkan pada Ibu Pertiwi demi kejayaan dan ke-emasan Republik Idonesia tercinta.
Dan nanti akan datang
saatnya dimana semua bangsa akan
tergetar manakala lagu Indonesia Raya dikumandangkan dan menggema
diseluruh penjuru dunia.
Tersenyumlah
pahlawanku, semboyan maha sakti akan selalu bergelora di-dada.
MERDEKA ! ....., MERDEKA !! ....., MERDEKA !!!!!
Rejosari, Minggu
16 Agustus 2014 jam 14.47 WIB
Anang Prawoto
Ketua RW 43
Rejosari Sardonoharjo Ngaglik