16/08/2014

TEKS RENUNGAN MALAM TIRAKATAN 17 AGUSTUS 2014


Beberapa hari yang lalu, anak-anak (Pradeas, Aedoh/Edo, Dhita, Meisya: Pemuda Rejosari, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, DIY) minta teks yang saya susun menjelang malam tirakatan 17 Agustus 2009. Cari-cari di arsip file, bongkar-pasang, bolak-balik keping Data DVD, .. akhirnya ketemu juga meski capek dan ngantuk.

Tapi, dibalik capek dan ngantuk itu, terbersit juga rasa bangga karena setelah beberapa tahun anak-anak tidak menampakkan keaktifannya, tahun ini mereka seperti tergugah kembali untuk mengisi kegiatan, meski generasi penerus tersebut masih terlalu belia. Semangat untuk menghormati para pendahulu dan pahlawannya mulai tampak tumbuh disamping mulai menyalanya keberanian untuk menunjukkan jati dirinya sebagai pemuda.

Daripada nanti di tahun-tahun berikutnya nya ribet lagi, yang edisi 2014 ini biar saya unggah saja ke Blog supaya jika ada yang "Ngersak-ke", mudah dicari lewat pintu "Mbah Google" dan tinggal edit disana-sini.

"Inggih mangga, menawi ngersakken ngundhuh..!"





TEKS RENUNGAN MALAM TIRAKATAN
HUT KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA KE-69
Minggu, 17 Agustus 2014 Jam 00.00 WIB


Malam semakin larut, angin semilir lembut seakan ingin berhenti sama sekali untuk memberikan hormat dan mengucapkan salam kepada negeri tercinta yang memiliki berjuta-juta keindahan.

Saat sejenak lampu kita padamkan, tampak tebaran bintang dilangit  laksana permata beraneka warna.

Kita teringat masa kecil yang indah, disaat terang bulan, kita berlari kesana-kemari, bernyanyi, bercanda dan tertawa tanpa beban.

Teringat pula, kita sering berjalan dipematang sawah diwaktu sore sambil menikmati semilirnya angin dan gemericiknya air di kali. Jika senja datang, kita turun ke sungai dan mandi di belik yang airnya bening.

Di kala malam menjelang, dalam gendongan Ibu,  kita mendengarkan cerita turun temurun bahwa dilangit sana ada “Lintang Gubug Penceng, Lintang Luku, Lintang Panjer-Wengi”, dan sesekali ada “Lintang Kemukus” yang mendebarkan.

Disaat lain, orang tua kita juga sering bercerita bahwa negeri ini pernah mengalami masa-masa pahit dan penuh kesengsaraan saat bumi persada ini ada dalam genggaman penjajah.

Waktu itu, kakek-nenek yang masih semuda kita, dan leluhur-leluhur dusun ini  tidak sempat berlama-lama menikmati indahnya malam bulan purnama karena mereka hidup dalam suasana penuh rasa takut, khawatir dan tidak menentu.

Mana mungkin mereka bisa bertamasya bermandi cahaya bulan dan menari-nari dibawah gemerlapnya bintang  sementara seharian mereka tidak makan  dan tubuhnya terasa gatal karena diserbu kutu yang bersarang di “karung goni” yang mereka kenakan.

Begitu lama mereka harus berjuang dan bertahan hidup di masa penjajahan.

Alhamdulillah, dengan berbekal ketabahan dan keikhlasan, perjuangan mereka akhirnya dikabulkan Tuhan.  Jum’at, 17 Agustus 1945 Sukarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, meski setelah itu “Jabang Bayi RI” masih harus mengalami jatuh bangun untuk menjaga agar Sang Merah-Putih tetap berkibar di angkasa dan “Sang Rajawali” Garuda Pancasila terbang dilangit Nusantara.

-oOo-

Kini kita telah menikmati kemerdekaan. Sebuah kemerdekaan yang diraih melalui perjuangan panjang para pendahulu kita, para pejuang, dan para pahlawan  yang pusaranya bertebaran menghiasi persada negeri. Mereka semua telah ikut menegakkan panji-panji kebesaran negeri ini. Mereka telah berkorban dengan pikiran, tenaga, harta, darah dan bahkan nyawanya, demi berkibarnya “Sang Merah-Putih”.

Betapa mahalnya tebusan untuk berkibarnya bendera kebanggaan kita, dan betapa ikhlasnya para pendahulu kita dalam menegakkan kedaulatan negeri ini.

Marilah, marilah di malam yang sunyi ini kita hening sejenak untuk sekedar mengingat dan mendoakan mereka yang telah ada di-haribaan Tuhan.

Mereka tidak menuntut kita untuk memanggul senjata, mereka tidak meminta kita untuk siang-malam berkeliaran mengintai musuh, mereka juga tidak menghendaki kulit dan daging kita tergores oleh senjata hingga darah menetes ke bumi.

Mereka terlalu sayang pada kita, mereka telah banyak berbuat demi kehidupan kita yang aman, damai dan bermartabat tanpa diusik oleh bangsa lain yang sengaja akan menjajah negeri ini.

Sepantasnya kita merenung dan bercermin, sudahkah kita mampu mempersembahkan karya bhakti bagi mereka dan bagi negeri ini?

Jangan-jangan, malam ini  sementara kita bergembira dan tertawa-ria, arwah mereka justru sedang menangis, meratapi tingkah kita yang jauh dari harapan para pendahulunya?

Harus kita akui, mata dan telinga kita sering tertutup oleh gemerlapnya dunia yang serba memukau sehingga mata hati kita dibutakan, dan kita menjadi tak pandai melihat tanda-tanda kemunduran dan kerusakan tatanan kehidupan di sekitar kita, di negeri ini.

Tentu kita semua berharap, semoga disekitar kita sudah tidak ada  “Orang tua yang mengabaikan masa depan anaknya atau  “Menelantarkan keluarganya”.

Semoga tak ada pula diantara kita yang muda ini,  setiap saat memaksakan kehendak  karena menganggap bahwa diri kita lebih hebat dari orang lain.

Dan semoga tak ada pula diantara kita, menyalah-gunakan kepercayaan orang tua dengan melakukan tindakan tak terpuji,  sementara Bapak-Ibu membanting tulang, mencari nafkah demi keberhasilan kita.

Mari kita tanyakan pada nurani kita,  apakah kita akan membiarkan diri kita tersesat dan menyerah untuk diperbodoh atau dijajah kembali?

Jika demikian, apa artinya Sultan Agung menggempur Batavia, Nyi Ageng Serang membentengi Bumi Menoreh, Pangeran Diponegoro mengobarkan Perang-Jawa, dan Bung Tomo menggelorakan semangat arek-arek Surabaya melawan tentara Sekutu?

Apa pula artinya selama ini kita bergembira dengan mengadakan lomba-lomba yang penuh tawa dan tepuk tangan serta pentas-pentas yang penuh dentuman musik dan sorot lampu warna-warni?

Apakah semua itu justru sekedar sebagai kamuflase karena kita tidak bisa berbuat sesuatu yang berarti untuk kejayaan negeri ini?

Marilah kita sadari, ternyata kita telah menjadi bangsa yang lemah, bangsa yang manja dan tak menghargai warisan jiwa ksatria dari para pendahulu kita.

Mestinya kita malu karena ternyata  kita sering mengkhianati diri sendiri, kedua orang tua , leluhur  dan para pahlawan negeri tercinta Indonesia.

-oOo-

Perjalanan kita masih panjang, dan negeri ini masih selalu menanti dharma-bhakti para pemudanya.

Esok pagi, saat matahari bersinar diufuk timur, itulah waktunya kita berbenah diri, menggelorakan semangat dan menyingsing-kan lengan baju untuk berbuat lebih banyak bagi Nusantara, negeri nan indah laksana bentangan permadani dengan untaian permata di Khatulistiwa.

Ikatkan pita merah-putih di kepala, kibarkan Sang Dwi Warna, melangkahlah dengan tegap penuh percaya diri.

Melompatlah tinggi kelangit, raihlah bintang-bintang untuk dipersembahkan pada Ibu Pertiwi demi kejayaan dan ke-emasan Republik Idonesia tercinta.

Dan nanti akan datang saatnya  dimana semua bangsa akan tergetar manakala lagu Indonesia Raya dikumandangkan dan menggema diseluruh penjuru dunia.

Tersenyumlah pahlawanku, semboyan maha sakti akan selalu bergelora di-dada.

MERDEKA ! ....., MERDEKA !! ....., MERDEKA !!!!!



Rejosari, Minggu 16 Agustus 2014 jam 14.47 WIB
Anang Prawoto
Ketua RW 43 Rejosari Sardonoharjo Ngaglik