28/06/2012

SILATURAHMI DI KEDATON TERNATE


Beberapa waktu lalu, dengar dari famili, katanya ada berita lelayu, seorang Sultan di Maluku meninggal dunia. Setelah telusur sana-sini, akhirnya diperoleh berita bahwa yang wafat adalah Sultan Tidore (Sultan H. Djafar Syah; meninggal hari Jum'at 13 April 2012). Inna lillahi wa inna illaihi raji'un. Semoga mendapat tempat mulia disisiNya.

Penulis jadi teringat saat-saat menerima kenyataan hidup (teman-teman biasa bergurau begitu) merantau di Ternate (1987-1994), jalan-jalan ke Soa-Sio Tidore, dan juga silaturahmi ke Sultan Ternate (Sultan Mudafar Syah) dengan teman yang aneh (suka bawa payung) pada 08 Mei 1989, bertepatan dengan 02 Syawal 1409 H.

Ini foto yang diambil oleh teman (Drs. Sumantoro Harinto Purnomo; asal dan sekarang tinggal di ndalem Notoyudan).



Tampak pada foto, Sultan diapit oleh dua sesepuh ber-peci, sementara penulis tampak terlalu serius 'merasakan aura magis' halaman belakang kedaton Ternate itu.

08/06/2012

MASYARAKAT ROKET INDONESIA


Kamis 07 Juni 2012 pagi, penulis mendapat disposisi dadakan untuk menghadiri acara Focus Group Discussion tentang Roket Uji Muatan (RUM) di gedung pusat Fakultas Teknik UGM. Sebenarnya agak tidak nyaman karena acara yang diselenggarakan oleh Kemenristek dan UGM itu lebih sebagai konsumsinya para akademisi.

Dilain pihak, lembaga-lembaga yang banyak berkecimpung tentang roket didominasi oleh LAPAN, AAU atau AD, sementara yang biasa main-main dengan frekuensi radio adalah ORARI.

Semula penulis akan diam dan bermanis-manis saja, tapi saat acara penentuan nama komunitas pecinta roket dan pemilihan formatur, akhirnya penulis ikut hanyut dalam diskusi hangat hingga disepakatinya nama Masyarakat Roket Indonesia dan terbentuknya formatur yang diketuai Drs. Sadiyatmo, MT (lebih terkenal dengan sebutan pak Momon); Asisten Deputi Iptek Masyarakat Deputi Pendayagunaan Iptek Kemenristek.


05/06/2012

MELACAK ELANG RAJAWALI GARUDA PANCASILA


Jum'at malam (malam Sabtu) 01 Juni 2012 penulis diajak teman (mas Danang Dewo Subroto) melihat wayang di pendapa Wiyata Praja, komplek Kepatihan Yogyakarta dalam rangka peringatan hari lahir Pancasila. Acara ini merupakan buah kerjasama antara Rumah Garuda (inisiator mas Nanang Rahmad Hidayat; Kranthil Sewon Bantul) dan yayasan Sekar Parijatha (konon berpangkalan di daerah Jl. Prof. Yohanes, Sagan).

Secara kebetulan, dalang yang didaulat menggelar lakon "Lahiripun Garudha Senjari Putih" itu Ki Hadi Sutoyo dari Ngentak/Kepek Jetis Bantul (putra Alm. Ki Mas Wedana Sugi Cermosarjono dari Beji Bantul) yang bagi penulis seperti kakak sendiri.

Penulis dan  teman dengan tanpa ragu naik ke sebelah kiri kotak wayang, amping-amping Gong dan saka-guru pendapa. Ki Dhalang yang melihat kehadiran penulis dan teman itu akhirnya malah banyak 'nggarap-i' sambil memunculkan improvisasi yang segar dalam pagelarannya, terlebih saat budhalan Kahyangan dan perang kembang antara para Dewa dengan Niken Parijatha dan Niken Mayang-Sekar yang sedang menjaga Resi Sekandhadewa.


Malam itu nuansa pendapa Wiyata Praja tampak magis sekali, selain dekorasi kelir/gayor yang penuh untaian bunga plus dedaunan dan kain lurik, para personil Foto dan Video Shooting (apa mahasiswanya mas Nanang ya?) juga mengenakan kostum kejawen, tampak gagah dan cantik. Malah ada yang mirip Nyi Ageng Serang. Terlebih lagi, semua peralatan Foto dan Video dikalungi untaian melati segar yang harum mengimbangi harumnya kukus/kepulan dupa yang tiada henti yang mengiringi proses penyematan bunga pada tokoh wayang yang menjadi lakon pada malam itu, terutama "Sang Garuda".

Penulis sempat bincang-bincang dengan mas Nanang, (kebetulan ada tiga nama yang mirip: Anang, Danang dan Nanang), pagelaran ini menamplikan pakem Mahabarata Brontokusuman, episode pertama dari 7 paket lakon yang ada. Lengkapnya, baca di alamat ini saja:


atau:



WAYANG MINIMALIS DENGAN ELEKTONE ??


Sabtu 26 Mei 2012 yang lalu penulis agak bingung saat seperangkat wayang dipinjam teman dekat. Kirain mau untuk pagelaran utuh, ternyata digunakan untuk pagelaran 2 jam dengan iringan elektone dalam rangka menjamu tamu setelah acara nikahan. Dalangnya Ki Sarjito dari Gondangan sardonoharjo, tapi domisili di Semarang.


Sebenarnya agak ragu-ragu melepas wayang saya karena ingat lara-lapa saat merintis membuat dan mengoleksi. Benar-benar dengan prihatin, .. ya prihatin menyisihkan uang, .. juga prihatin dalam bentuk puasa untuk menjernihkan fikiran agar nantinya wayang ini 'mberkah-i'.

Untungnya mas Topo yang notabene kakak dari Ki Dalang itu bisa memahami, ubarampe tetap dicawiske. Secara kebetulan, Ki Dalang itu dulu teman TK saya, dan ayahnya (mbah Sastro Bakit atau mbah sastro Bagus) dulu diangkat sebagai putra mbarep oleh mbah carik Noto Disono (Gondangan; mbah-dhe-nya penulis).

Saat mendengarkan talu dengan ladrang Sri Slamet versi elektone, rasanya aneh dan sangli. Ki Dalang-pun katanya juga baru kali itu ndhalang diiringi elektone. Memang, tampaknya ini buah skrenario kreatif sekaligus usil dari pak Teguh (Gondangan).