27/10/2010

MERAPI MELETUS
SIKAP SANG KAPTEN, MBAH MARIJAN


Sleman, 27 Oktober 2010
Kemarin sore, penulis pulang dari tempat kerja jam 17 lewat sedikit. Maunya nunggu hujan reda, tapi tak juga kunjung tingkas. Dengan jas hujan penulis menyusuri Jl.Kaliurang mengendarai sepeda motor yang telah berusia lebih dari 13 tahun. Tampak di ujung utara sana awan tebal menutup langit sehingga tak tampak tubuh gunung Merapi yang legendaris itu.

Masih teringat, semalam bertukar pikiran dengan teman-teman dan sempat nyeletuk: "Bolehlah Merapi meletus sedikit, sekedar lava keluar, hujan abu sebentar dan sedikit wedhus gembel (awan panas) asal jangan terlalu jauh menyapu penduduk, sekedar anak-anak dan adik-adik kita mengalami hujan abu yang sudah sangat lama tak terjadi".

Saat baca koran, terdengar seorang presenter stasiun TV menyiarkan kondisi Merapi yang akhirnya memakan korban. Ternyata awan panas sudah dihembuskan pada jam 17.02, jam 17.19, jam 17.23 dan jam 17.30, bahkan menurut penduduk di sisi timur Merapi, ada suara dentuman dari puncak gunung.

Hiruk-pikuk tayangan beberapa stasiun TV dan juga raungan ambulans terdengar dari rumah yang berdekatan dengan Jl.Kaliurang sedikit membuat miris, Merapi sedang tidak main-main.

Aneh, mbah Marijan 'Suraksa Harga' sang juru kunci Merapi malah tidak banyak ter-ekspose. Banyak pertanyaan, dimanakah orang tua jenaka yang menghebohkan dunia itu.

Rabu pagi tadi, adik di Kudus telpon, menanyakan nasib mbah Marijan, dan penulispun belum juga bisa menjawab karena informasi masih simpang siur. Tapi, setelah ada berita yang meyakinkan bahwa simbah itu telah meninggal, terjawablah teka-teki itu. Sedih, kasihan, terharu, itulah yang ada dibenak penulis.

Mbah Marijan membuktikan ucapannya untuk tetap ngugemi sumpah sebagai abdi almarhum Sultan Hamengkubuwono IX. Ia meninggal terkena awan panas dirumahnya dalam keadaan sujud sebagai ungkapan kepatuhan dan kepasrahan kepada Sang Pencipta dan selebihnya pada Sultan junjungannya. Seperti Kapten Rifai sang nahkoda kapal Tampomas yang harus meninggal di kapal yang tenggelam di perairan Masalembo setelah semua penumpang diusahakan masuk sekoci penyelamat, simbah-pun bersikap seperti seorang Kapten, ia meninggal dalam pelukan kekasihnya, Merapi.

Innalillahi wa ina ilaihi raji'un.
Selamat jalan orang kuat ... rosa-rosa .. !!


an.27102010_14:45

26/10/2010

SASMITA GHOIB TANAH JAWA



Jogja, 26 Oktober 2010
Sekitar 3 minggu yang lalu, tersebar himbauan untuk masyarakat Jogja agar berkenan memasak sayur lodheh yang terdiri dari 8 jenis sayuran. Entah itu benar-benar dhawuh Dalem Sultan Hamengkubuwono X melalui para abdi dalem, entah ini sekedar spekulasi pihak-pihak tertentu yang akan mengambil keuntungan, atau bahkan ini merupakan ulah nakal juragan sayur supaya dagangannya laku keras.


Bahan sayuran (bakal jangan) yang dianjurkan itu adalah; nangka muda (gori), paria ular (pare ula), kulit melinjo, pepaya, kacang panjang (kacang gleyor), jipang dan gambas (termemes).


Menurut pemantauan penulis, masyarakat di Jogja utara kelihatannya banyak yang telah membuat sayur itu tanpa berfikir macam-macam. Doanya hanya mohon keselamatan kepada Tuhan, toh dulu sebelum Pisowanan Ageng menjelang lengsernya pak Harto, masyarakat Jogja juga membuat sayur semacam itu, hanya bahannya saja yang berbeda (lompong dll dimasak gurih; tidak pedas). Kenyataannya, perhelatan akbar yang melibatkan sekitar sejuta orang itu benar-benar tanpa kerusuhan, sementara rencana pertemuan akbar di depan gedung MPR yang akan menampilkan politisi terkenal, batal dilaksanakan karena pertimbangan keamanan.


Bagi orang Jawa yang paham dengan sasmita dan semu, tentu tidak terkejut dengan merebaknya kabar yang seolah-olah menjadi dhawuh itu. Semua bahan yang dianjurkan, akan diterjemahkan dengan skenario alam semesta sebagaimana pada jamannya Sri Aji Jayabaya dulu, ada seorang pertapa bernama Ajar Subroto yang memaparkan jangkaning jagad (tanah Jawa) melalui simbol-simbol ubarampe sesaji. Jika Tuhan berkehendak, tak mustahil seorang Ajar Subroto dan Sri Aji Jayabaya mengetahui rahasia alam semesta, meski keduanya harus terlebih dahulu berguru pada Syech Syamsu Zein, ulama dari Ngerum.


Alhamdulillah, pada Kamis Kliwon 14 Oktober 2010, penulis bersama teman-teman (pak Parji, pak Broto, pak Sudi, pak Karyat, pak Wiji dan pak Pur) sempat mencicipi sayur itu di padhepokan Pancer-Lima setelah kerja bhakti membongkar ubin (tegel) hingga menjelang Maghrib.


Tak lama setelah terlaksananya dhawuh membuat sayur 8 macam itu, muncul lagi dhawuh untuk membuat rujak dheplok dari 5 macam buah; jambu mete, bakal buah (pentil) jambu kluthuk, pisang (gedhang) kluthuk muda, bakal buah nangka (babal) dan gula aren.


Tadi malam saat kumpul-kumpul di padhepokan Dana Warih-2 (Baransari) bersama pak Kusmanto, pak Karyat, Ki Purwoko dan pak Broto (setelah ada tamu dari Mabes Polri, ditemui pak Kusmanto dan pak Broto), penulis tersadar akan makna simbolik dari ubarampe itu.


Sebagaimana status Merapi yang pagi hari kemarin (Senin Legi, 25 Oktober 2010) jam 06.00 dinaikkan dari Siaga ke Awas, jelaslah bahwa dua kali dhawuh itu memang berhubungan dengan gunung teraktif didunia; Merapi, yang sedang punya gawe itu.


Dhawuh pertama berhubungan anjuran Sultan HB X (Ngarsa Dalem) kepada aparat untuk mempersiapkan infrastruktur pada radius 7 km dari puncak Merapi, sedangkan rujak dheplok itu berhubungan dengan sesuatu yang akan dimuntahkan dari kawah (kepundan) gunung yang konon menjadi tempat berkumpul dan berkaryanya para empu Kahyangan.


Saya takut menduga-duga dan bercerita panjang lebar akan sasmita ini karena barangkali masih banyak hal yang menjadi rahasia Alam, tetapi mestinya kita tidak perlu heran dan terkejut seperti beberapa tahun yang lalu saat Mbah Marijan seakan-akan berbeda pendapat dengan Gubernur DIY (Sultan HB X). Kalau kita jeli, tentu akan tersenyum melihat kejadian-kejadian semacam itu, pun pula jika sekarang kita mendengar Mbah Marijan seakan-akan menghindari wartawan dan tidak mau komentar tentang Merapi.


Semoga masyarakat Yogya tetap aman dari bencana alam, tenang dari pertikaian politik dan tidak terpancing dengan kelambatan RUUK. Juga tidak ada lagi komentar pak SBY yang bersifat menyindir (sarkasme) dengan ungkapan yang melukai rakyat Jogja: "Raja merangkap Gubernur, adanya hanya Ratu Kethoprak".

an.26102010_14:14