21/10/2020

MENERKA MAKNA ULAR DI MAGANGAN KRATON JOGJA

 

Pagi itu, Kamis, 15 Oktober 2020, teman datang ke ruang penulis, tetapi karena urusan pekerjaan yang mendesak, teman itu hanya menunjukkan foto 'ular melingkar di saka Magangan' dan bilang untuk nanti cerita diteruskan lagi. Tetapi hari itu, penulispun juga harus luncur ke Sleman untuk sebuah ATK yang tertinggal karena kelalaian pada Rabu malam-nya, dan pagi itu harus meyakinkan benda itu ada dimana.

Hari ini penulis coba cek ke beberapa surat kabar online, ternyata banyak yang menulis peristiwa itu, bahkan diperkuat dengan pernyataan Romo Tirun (KRT. Jatiningrat) bahwa kejadian itu aneh, misterius, tapi memang banyak hal aneh sering terjadi di Kraton.

 

Ular Yogyakarta

Foto dari: 

https://nusadaily.com/nusantara/ular-melingkari-soko-bangsal-magangan-keraton-yogyakarta-pertanda-apa.html

 

Tentu peristiwa itu memunculkan banyak spekulasi, ada yang menganggap itu hal biasa sebagaimana perubahan cuaca dari kemarau menuju penghujan, ular akan mencari tempat baru yang lebih nyaman.

Apa pula yang menganggap bahwa gambar itu hanya karya kreatif para ahli Photoshop, Coreldraw atau aplikasi grafis yang lain, yang dengan kepiawaian tangannya bisa membuat gambar yang seolah-olah nyata, tampak bukan editan.

Sisi yang lain, ada yang menghubungkan peristiwa itu dengan kondisi demo UU Cipta Kerja yang berkepanjangan dan anarkhis.

Yang lain dan yang klenik, menghubungkan peristiwa itu dengan sasmita kondisi negeri ini, apalagi Romo Tirun yang notabene cucu Sultan HB VIII itu menanyakan dan menegaskan bahwa sisik ular itu seperti 'beras wutah' yang dalam dunia tosan aji itu merupakan salah satu jenis pamor keris; wos wutah atau beras wutah yang bermakna doa kemakmuran atau kelimpahan bahan pangan.

Terus, makna sesungguhnya apa?

Ya tentu kita tidak tahu.

Tapi mari kita runut rangkaian peristiwa yang unik.

 

Pertama: pada tanggal 20 Oktober 2019 pasangan Presiden-Wakil Presiden (Ir. Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin) dilantik.

Kedua: pada akhir Desember 2019 Wuhan (Hubei, China) terjangkit Corona-19, dan Indonesia masih tenang-tenang saja.

 Foto (Cropping): https://www.google.com/maps/place/Hubei,+China/

Benarkah ini wabah alami? Atau ini sebuah perang baru dengan menerapkan senjata Biologi? Tidak mudah untuk menemukan kebenaran berita yang sudah hirup-pikuk dan masif.


Ketiga: pada bulan Februari, terjadi musibah susur sungai Kali Sempor yang meminta korban 10 siswi SMP Negeri Turi, Sleman, DIY.  Dalam peristiwa itu salah satu inisiator MAHAMERU harus bertanggungjawab bersama dua rekannya. Alhamdulillah guru-guru itu ikhlas menjalani konsekuensi  hukum sebagai bentuk penyesalan, rasa empati dan laku prihatin.

Sebenarnya, hari Jum'at 21 Februari 2020 itu, saat penulis berhenti di traffic light pertigaan Jl. Palagan dan Jl. Damai, tampak benar betapa mendung di utara sana begitu tebal dan hitam pekat. Dalam hati penulis nggrahita: "Mendung seperti ini kalau tidak puting beliung, petir yang mengerikan, ya hujan sangat lebat".

Ada perasaan menyesal karena saat itu penulis berdoa kepada Tuhan agar mendung itu jangan dulu jatuh menjadi hujan sebelum saya sampai di Pajangan Sleman. Refleks saya meniup awan itu dari jauh, seakan-akan merasa bahwa diri ini sakti dan mampu menghalau awan.

Saat penulis ada di atas panggung wayang di depan Pendapa Kabupaten Purworejo (mensupport teman dalang dari ISI Jogja yang pentas atas fasilitas dari Disbud DIY), phone berdering mengabarkan musibah Kali Sempor.

Dalam hati begitu menyesal, kenapa tadi siang harus berdoa dan berulah seakan-akan orang sekti mandraguna dengan meniup awan. Kalau doa itu diijabah Tuhan, maka penulis harus merasa ikut bersalah karena doa itu semata-mata terdorong rasa egois; ingin tidak kehujanan tapi membiarkan awan hitam itu makin menggumpal dan jatuh menjadi hujan yang luar biasa derasnya hingga mendatangkan bencana. Ini pelajaran baru, ternyata doa yang egois bisa mendatangkan petaka bagi orang lain.


Keempat: Keris Kyai Naga Siluman, pusaka Pangeran Diponegoro (Dipanegara) yang dibawa oleh Belanda pada tahun 1931, dikembalikan ke Indonesia pada tanggal 10 Maret 2020.

Pusaka adalah sipat kandel yang mensugesti pemegangnya merasa lebih dekat dengan Sang Maha Pencipta sehingga keberaniannya meningkat dan semangatnya berapi-api.

Perang Diponegoro atau Perang Jawa selama 5 tahun itu memang rumit. Perang itu bisa dimaknai sebagai perlawanan seorang putra raja yang menghadapi ketidak-adilan, tapi juga bisa dimaknai sebagai perang sabil (perang suci) menegakkan balad Islam karena banyaknya ulama yang berpihak kepada Sang pangeran.

Disisi lain, perang itu juga bisa dimaknai sebagai perlawanan rakyat yang sudah terlalu lama dijajah Belanda, atau perang mengembalikan martabat Keraton Jogja karena ulah negatip oknum perwira dan sinyo-sinyo Belanda yang melecehkan harkat Keraton Jawa, sementara Keraton sejak semula selalu dijaga keagungan dan kesakralannya sebagai tempat suci bersemayamnya seorang Sayyidin Panatagama yang merupakan manifestasi (pangejawantahan) Raja Gung Binathara, Wakil Tuhan di bumi atau Kalifatullah.

Harga yang dibayar untuk Perang Jawa itu bergitu besar. Bukan hanya tenaga dan harta tetapi juga nyawa dan kedaulatan Mataram Yogyakarta yang menjadi sempit karena beberapa wilayah harus diambil oleh Belanda untuk menukar beaya perang.

 

Kelima: Oleh karena wabah (pandemi) Covid-19 yang makin merebak dan banyaknya korban yang silih berganti, lockdown menjadi tindakan tanggap darurat yang diberlakukan dimana-mana meski istilah itu sendiri sangat tidak disarankan karena terkesan sangat mengerikan.

Isolasi mandiri dengan melarang waga keluar masuk kampung, atau melarang sama-sekali orang dari luar  memasuki kampung menjadi tindakan yang diyakini banyak orang sebagai 'yang harus dilakukan'. Penjagaan sangat ketat, melebihi ronda kamtibmas pafa masa-masa sebelumnya. Perangai kita-pun menjadi sedikit sangar karena ketakutan yang berlebihan dan terlalu banyaknya kecurigaan yang berhubungan dengan kesehatan dan keamanan.


Keenam: Peristiwa ular melingkari saka di Magangan itu ada yang menghubungkan dengan 'Ular Ouroboros' yang menjadi simbol siklus keabadian versi Mesir kuna.

Memang kalau mengacu angka, nilai tertinggi adalah sembilan, dan itu bersesuaian dengan peringatan wafatnya Sultan HB IX (saat teman memberitahu tentang ular di Magangan, itu pas Kamis Wage, peristiwanya sendiri konon tanggal 8 Oktober).

Jika sekarang Sultan  HB X diartikan sebagai titik stasioner yang bernilai 10 atau kembali ke 0, maka akan mulailah siklus baru, dari angka 1 yang tentu harus melalui banyak perjuangan karena alam dan jaman sudah berubah.

 

Ketujuh: Kembali ke situasi normal dengan tatanan dan budaya yang baru.

Tapi akankah keadaan itu terjadi bersamaan, nanti Indonesia dengan Ibukota fisik/formal di Jakarta (atau tempat yang baru) dan ibukota ruh NKRI di Mataram (Yogyakarta) akan benar-benar menjadi mercusuar peradaban?

Dan, apakah nanti bebasnya tiga orang guru yang menjalani hukuman karena duka susur sungai Kali Sempor itu akan bersamaan dengan hilangnya Pandemi Covid-19 sehingga anak-anak kita boleh kembali ke sekolah karena gurunyapun sudah boleh kembali ke sekolah?

Wallahu a'lam.

 

Kita tidak punya hak untuk membuat skenario, tetapi setidaknya kita boleh berdoa semoga semuanya akan segera menjadi baik seperti semula, atau bahkan lebih dari itu.

 --[20201021_1030]--

21/07/2020

KAYU WREGU PUTIH

KARAKTER SISWA KITA AKAN SEPERTI APA
Oleh: Anang Prawoto

"Agni. Pusaka yang aku katakan itu, masih harus dicari. Aku hanya dapat menunjukkan kepadamu, tempat dan bentuknya. Semoga kau akan dapat menemukannya".

"Apabila kau berhasil Agni, maka kedua pusaka itu akan menjadi pasangan pusaka yang tak ternilai. Pusaka itu akan menjadi sedemikian saktinya, sehingga orang yang mempergunakannya akan kalis dari kekalahan. Siapa pun lawannya. Kau mengerti?"

 

 
Kalimat itu adalah petikan dari cerita bersambung 'Pelangi di Langit Singasari' karya SH. Mintardja.

Mahisa Agni mendapat perintah dari gurunya; Empu Purwo, untuk  mencari Kayu Wregu Putih di lereng gundul gunung Semeru agar menjadi pesilat nomor wahid yang tak tertandingi oleh siapapun.

Sebagai pemuda belia, Mahisa Agni sangat tergiur oleh iming-iming duniawi itu karena dengan kesaktian yang tinggi, kekuasaan, harta dan segala kenikmatan duniawi bisa diraih.

Perjalanan ke gunung Semeru itu tidaklah mulus, terjalnya lereng pegunungan, gangguan 'penyamun' dan tekanan mental mesti dihadapi Mahisa Agni dengan ketajaman akal budi dan bekal kanuragan yang dipelajari di Padepokan Ponowijen.

Namun, ujian terbesar justru saat Mahisa Agni sudah mendapatkan Kayu Wregu Putih dimana seorang tetua dari lereng gunung (Ki Buyut Winong) dengan memelas meminta Kayu Wregu Putih itu untuk menyembuhkan warganya yang terserang wabah penyakit.

Pergolakan batin Mahisa Agni benar-benar riuh dan menghentak-hentak dadanya, disatu sisi ingin menjadi pendekar paling sakti di muka bumi, namun disisi yang lain hatinya tidak tega melihat rakyat kecil itu menderita.

Ia berteriak-teriak untuk melawan pergolakan batin yang menghimpit. Hampir saja ia mengusir orang tua itu dengan kasar karena jiwanya nyaris kehilangan kendali.

Ia tidak ingin berjaya diatas tumpukan mayat orang se Kabuyutan, tapi otaknya membuat alibi bahwa kesaktian itupun nanti bisa digunakan untuk melindungi dan menyelamatkan orang banyak dari kejahatan penyamun dan perampok, atau kekejaman penguasa.

Dialog dramatik itu akhirnya anti klimaks setelah Ki Buyut Winong menyerah dan tidak ingin merebut Kayu Wregu Putih tetapi ia justru titip pesan untuk disampaikan kepada penduduk Kabuyutan Winong bahwa dirinya tidak berhasil mengambil Kayu Wregu Putih di gua kecil lereng gundul gunung Semeru, bahkan dirinyapun tentu akan mati disitu.

Mendengar pesan Ki Buyut Winong, Mahisa Agni benar-benar terguncang karena merasa betapa dirinya sangat kerdil dan egois, ia hanya mementingkan diri sendiri, sedang orang tua itu akan mati demi memperjuangkan nyawa orang banyak.

Oleh sentuhan rasa iba dan welas asih, tak urung lemaslah Mahisa Agni, pendekar perkasa yang dengan pusaka Trisula mampu mengimbangi kesaktian Ken Arok saat bertempur di Padang Karautan. Kayu Wregu Putih yang akan menjadi pasangan Trisula yang maha sakti itu akhirnya diserahkan kepada Ki Buyut Winong, dan orang tua itu menjadi bengong melihat perubahan sikap Mahisa Agni.

Namun, saat Mahisa Agni dengan langkah lunglai akan pulang mengadukan kegagalannya, peristiwa mengejutkan kembali mengguncang hatinya. Gurunya mencegat di lereng gunung, tidak jauh dari gua kecil itu. Ia menjadi benar-benar pucat dan sedih karena telah mengecewakan gurunya.

Tetapi ternyata gurunya justru tersenyum dan dengan rasa penuh kasih Empu Purwo menyerahkan Kayu Wregu Putih.

Teryata semua ujian itu dilakukan sendiri oleh Mpu Purwo dalam rangka menjajagi kematangan jiwa, menakar keseimbangan lahir-batin dan menumbuhkan rasa berserah diri pada Yang Maha Kuasa sebelum murid tersayangnya mendapatkan warisan ilmu tertinggi perguruan.


PPDB dan MPLS

Setelah usai masa PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru), mulai tanggal 13 Juli yang lalu sekolah-sekolah telah menyelenggarakan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) dengan cara vitual melalui program-program dalam jaringan (daring).

Dalam kondisi normal sebagaimana tahun-tahun yang lalu, MPLS selalu diselenggarakan dengan hingar bingar karena peserta didik (siswa) baru itu bak tamu yang ditunggu-tunggu dengan berbagai harapan. Suasananya benar-benar fresh dan banyak sukacita meski juga banyak tugas dalam rangka lebih mengenal lingkungan sekolah dengan budaya spesifiknya dan juga belajar menghargai waktu.

Tentu akan bertebaran slogan tentang pendidikan karakter disana meski fakta pelaksanaannya lebih bersifat formal dan bukan esensial.

Di era milenial, tentu para pendidik (guru) tidak perlu bertindak ekstrem seperti Empu Purwo dalam mematangkan jiwa peserta didiknya, dan tidak harus pula siswa meniru Mahisa Agni untuk mencari goa kecil di lereng gunung demi sepotong Kayu Wregu Putih.

Ada hal penting yang bisa dipetik dari cerita itu, pertama, sebuah iming-iming yang bersifat duniawi itu wajar adanya karena remaja milenial tentu tergiur oleh hal yang menyilaukan mata, terlihat "Waauw", yang keren dan trendy.

Menjadi orang paling pintar, paling gagah, paling berkuasa, paling kaya, atau paling populer, itu wajar menjadi cita-cita anak milenial sebagaimana Mahisa Agni tergiur menjadi pendekar paling sakti di jamannya.

Tetapi, akhlak/budi-pekerti, spiritualitas, kecerdasan sosial dan aspek batiniah lainnya, harus diolah dengan 'kurikulum khusus' yang tidak semata-mata bersifat formal, berupa data numerik atau tampilan ststistik diatas kertas semata.

Tentu pergolakan batin Mahisa Agni tidak akan pernah dirasakan oleh siswa yang hanya belajar di kelas, membaca buku atau browsing internet.

Pertanyaan dari guru tentang hal-hal yang dilematis di dalam kelas hanyalah simulasi semata, sedang pengalaman langsung menghadapi masalah kehidupan yang nyata, yang menuntut sebuah pengobanan secara sungguh-sungguh adalah ujian yang nyaris sempurna.

Adakah diantara kita berani melakukan ujian seperti itu? Ujian yang menuntut Sang Guru ikut menyusuri hutan, rawa-rawa dan lereng terjal tanpa diketahui oleh orang lain demi sempurnanya ujian hingga mampu membuat muridnya masuk pada keadaan jiwa di ambang histeris oleh pergolakan batin yang dahsyat?

Tentu bagi siswa kita sekarang bukanlah hutan, rawa-rawa dan lereng terjal dalam arti yang sebenarnya, tetapi kita perlu mendidik anak-anak kita menghadapi pergolakan batin paling dahsyat agar nanti terlahir generasi paripurna, negarawan sejati, satria pinandhita, insan kamil, yang bukan hanya pintar dan cerdas, tapi juga berbudi luhur.
Tentu kitapun selalu berdoa untuk itu.


Draft: 10 Juli 2020, 13:52
Edit terakhir: 19 Juli 2020, 23:21


12/06/2020

SIO TERNATE

Dulu lagu ini sering saya nyanyikan di rumah rantau sambil kerja atau lembur tugas.

Menurut saya, Sio Ternate ini dulu bukan lagu utuh (mungkin saya salah) karena lagu ini seakan-akan bagian dari seremoni penyambutan kapal yang datang, merapat di dermaga Ternate.

Bagi perantau yang baru datang atau datang kembali setelah liburan (ke Sulawesi, Jawa atau tempat lain), mendengar lagu ini rasanya seperti mendapat sambutan dari Negeri Seribu Pulau dengan berbagai cita rasa.

Syair yang 'menggigit ' adalah: "Banyak kota kita su sampai, tara sama manis kota Ternate". Makna kalimat itu memberi kesan pada orang yang datang bahwa Ternate adalah kota yang spesifik, spesial dan penuh kenangan.

Setelah penulis kembali ke Jogja pada September 1994, syair itu agak terlupakan hingga datang teman yang mengajar di STM Negeri Ternate (SMK Negeri 2 Ternate); namanya Julkifly, saat itu melaksanakan PPG di Jogja (UNY dan SMK Negeri 2 Depok Sleman) pada Oktober 2019.

Serasa saya kembali ke Maluku karena bisa sedikit-sedikit mengulang vocab bahasa Ternate dengan logat yg khas.

Teman itu langsung mengajak foto dan men-share ke teman-teman yang masih bertahan di lingkungan Dikpora Ternate (maklum beberapa sudah menjadi pejabat).

Di kesempatan lain, saya menanyakan lagu SIO-SIO ini, dan teman itu menjawab: "Itu kelihatannya lagunya Om Desa (tokoh RRI Ternate)".

Saya coba mengingat-ingat syair itu, tapi belum juga ketemu.

Pada Sabtu 30 Mei kemarin, saat mau setting microphone rekam, iseng-iseng nyari notes untuk coret-coret .. , ee ternyata pada kertas yang sudah berubah warna itu ada catatan lagu ini.

Mulailah mengulang-ulang syair lagu sambil bekerja.

Rabu 10 Juni 2020 mulai buat aransemen musik dan jam 21:17:20 selesai file MIDI-nya.

Tidak sabar juga, setelah itu langsung merekam suara di Studio Mini Mahameru hingga jam 22.40, hingga akhirnya jadilah ini pada Jum'at, 12 Juni 2020 jam 8:41:38.


Silahkan klik LINK ini: SIO TERNATE

Jika Anda kesulitan meng-akses, gunakan alternatif Link ini: SIO TERNATE
 


Ada sedikit salah ucap pada bait pertama, mestinya 'huhate' (yang berarti pancing bambu dengan umpan tiruan atau tipu-tipu) terucap 'hohati'. Biar saja nanti saya nunggu kalau ada teman dari Maluku yang membetulkan.

Untuk file yang diunggah di Google Drive, sudah revisi ‘huhate’.


Biarlah ini saya pakai untuk menyapa teman-teman era awal 90-an sambil mengirim salam hormat saya kepada beliau (Bapak/Ibu): Abd. Aziz Tukuboya (dari Sanana), Etty Loppies (dari Ambon), Vivera Lily Marhaeniwaty Harly (yang saya warisi tongkat untuk mengajar), Jamudin Jamau, Junaidi Marinda, Tamar Bunga, Fatima Tuara dan tentu; ms. Julkifly R. Muqaddasim yang telah menggugah ingatan saya.

Juga teman-teman dari bagian lain yang sangat mengesan, (Bapak/Ibu); Piet Tantowardoto (Kepala Sekolah; dari Manado), Paulus Nanlohy (dari Saparua), M. J. Radja Baicolle (Pak Martin; punya indra ke-6), Petrus Noya, Ch. Sermatang, P. Rahakbau, Usman Leisubun, Yamin Buamona (dari Sanana), Puasa Hi Hasan, La Apa (dari Buton, pernah ketemu di PPPG Bandung, Jl Pesantren, Cibabat), Din Senen, Umar Tukuboya, Hamid Jafar, Ust. Syarifuddin AR., Cornelis Maluwere, Robert Tetelepta, Yofial (dari Padang), Damri (dari Padang), Hendrik Siwabessy, Ariston Sora, Jopi Frankie Sundah, Arifin Kude, Rustam Bin Saleh, Bujerman (dari Padang), Irwan (dari Padang), Agustina Mateka (dari Gorontalo), Zulaiha Ruchban, Nikmah Syukur, Harun (?), Noordin Samsudin, Ledy Mardiana Baco, Abd. Samad Bandang .. , yang lain menyusul (masih mengingat-ingat nama).

Juga teman teman dari Jawa(Bapak/Ibu): Sumantoro (Jogja), Sutarno (Jogja), GM. Sunaryoko (Sleman), Hari Wardi (Madura), Azam Sakhson (Surabaya),  Supriyana (Bantul), Jarwadi (Solo), Sarjiman (Bantul), Dwi Bagyo (Surabaya), Paulus Arwalembun (Ambon, kuliah di Jogja), Miftahur Roudli (Sidoarjo), M. Anas (Sidoarjo),  V. Agus Sigit Widodo (Jogja), Tri Sunarso (Sleman), Jasmanto (Boyolali/Delanggu), Sri Juwita Ningsih (Surabaya; suami Kepala Pegadaian Ternate), Agus Hermawan (Magelang).
 

Dan berikut ini klip video SIO TERNATE yang diunggah di YOUTUBE pada 29 Juli 2021.

 SIO TERNATE di YOUTUBE



--[an20200612-1040]--


20/05/2020

KICAU BURUNG CINGCING GOLING DAN SEMANGAT KEBANGKITAN


Hari ini tanggal 1 Syawal 1441H yang mestinya menjadi hari kemenangan umat Islam karena telah sebulan melaksanakan ibadah puasa.

Namun di luar sana justru beredar 'jeritan pesimis' melalui tagar 'Indonesia Terserah' karena sulitnya mentertibkan masyarakat untuk mematuhi protokol penanggulangan Covid-19. Jalan makin ramai, pasar dan pusat perbelanjaan juga makin padat, bahkan masker mulai ditanggalkan.

Pantas saja kemarin ada tayangan di TV; Bupati Lumajang marah sampai mengusir pengunjung salah satu pusat perbelanjaan karena tidak memenuhi protokol kesehatan.

Di satu sisi, kita tahu bahwa warga masyarakat yang melakukan isolasi mandiri di kampung mulai resah karena beratnya beban hidup dan meningkatnya kejenuhan. Tetapi, apakah kita akan membiarkan semua pihak yang telah berjuang menghadapi virus Corona akhirnya berucap: "Sak karepmu, sangganen dhewe!" .. , seperti itu?
Jangan ..!!

Meski kita hanya bagian terkecil dari perjuangan itu, tak selayaknya kita patah arang. Kita harus tetap semangat dengan harapan bahwa esok akan menjadi lebih baik. Itu sejalan dengan QS. Al Nasyroh: "Sesungguhnya sesudah kesulitan, ada kemudahan".

Saya teringat saat belajar di SD (atau SMP; era 1970-an) pernah diajari tembang Mijil yang bercerita tentang indahnya pagi hari dengan kicau burung Cingcing Goling dan semangat membuka hutan untuk lahan pertanian.

Silahkan klik Link ini: CINGCING GOLING (SLENDRO)

Jika Anda kesulitan meng-akses, gunakan alternatif Link ini:  CINGCING GOLING (SL)




Silahkan klik Link ini: CINGCING GOLING (PELOG)

Jika Anda kesulitan meng-akses, gunakan alternatif Link ini:  CINGCING GOLING (PL)



Seorang Dyah (Raden, keturunan raja atau pembesar) meloloskan diri dari keraton oleh suatu sebab, kemudian membuka hutan untuk tempat tinggal dan bercocok tanam.

Tokoh itu akan menjadi Cikal Bakal dari sebuah dusun, kabuyutan atau kademangan yang subur, aman, nyaman, tenteram dan tangguh/ disegani, atau menjadi kota yang ramai dan maju yang bahkan bisa berkembang menjadi Ibukota negara, sementara Sang Cikal Bakal itu akan selalu dikenang dan dimuliakan dari generasi ke generasi melalui upacara adat atau kenduri kampung pada saat-saat tertentu.

Insya Allah ini bukan sebuah kemusyrikan tetapi lebih pada pembangunan budi pekerti dan adab "tahu berterima kasih' pada para pendahulu.

Pada tembang itu, 'Sang Dyah sigra nglempak piranti-ne' artinya alat dan teknologi yg ada pada zamannya dimanfaatkan secara optimal untuk menjawab tantangan kehidupan

'Babad wana kinarya sesabin' adalah mengubah suatu lahan liar menjadi tanah garapan yang diolah melalui perhitungan yang matang, meliputi kesuburan tanah, saluran air, waktu tanam-petik dan pranata mangsa yang berhubungan dengan siklus alam, serta hama yang merusak/merugikan.

Yang terakhir 'lan pra abdi tuwin telukan pepitu' artinya kerja itu melibatkan banyak pihak; orang terdekat dan relasi-relasi yang mendukung.

Seorang calon pemimpin yang akan bergelar Ki Buyut, Ki Gede atau Ki Ageng selalu menghargai orang lain karena memahami bahwa hasil kerja kolektif itu akan menghasilkan karya besar dan menumbuhkan rasa kebersamaan serta rasa handarbeni yang tinggi.

Bagaimana dengan Covid-19 ini? Tentu inipun tak jauh beda dengan 'babad wana/alas' untuk menyongsong munculnya tatanan/ budaya baru 'New Normal'.

Sepantasnya hal ini kita hadapi dengan penuh optimis sebagaimana Sang Dyah bekerja di pagi hari ditengah sinar mentari yang hangat dan kicau burung Cingcing Goling yang bercanda diatas dahan dari pohon besar (luhuring kekayon).

Maka dalam menghadapi pandemi Covid-19, tagar "Indonesia Terserah" harus diubah menjadi "Indonesia Jangan Menyerah" sehingga jika nanti diberlakukan "New Normal" itu bukan berarti kita sudah putus asa atau "semplah" tetapi budaya hidup baru itu semestinya dimaknai sebagai "pertahanan, keamanan dan perlawanan rakyat semesta" terhadap wabah yang muncul pertama di Wuhan, China itu.

Jika 'Sang Dyah' pada tembang itu kita asumsikan sebagai Sang Dyah Sanggrama Wijaya (Raden Wijaya), maka kita harus mengadopsi semangat para ksatria, tentara dan rakyat Singasari saat menghadapi pasukan Mongol yang terkenal sangat perkasa, yang konon khabarnya menguasai dua pertiga Dunia.

Toh kenyataannya saat itu tentara Mongol bisa dikalahkan, dihancurkan dan dipermalukan hingga akhirnya peristiwa itu justru menjadi tonggak baru munculnya imperium besar; Majapahit yang mempersatukan Nusantara dibawah panji 'Gula Klapa' embrio Sang Merah Putih.

Foto pohon beringin raksasa pada Cover MP3 tembang itu saya ambil tanggal 25 Mei 2016 di tepi Kali Sempor dekat dusun Dukuh dan dusun Wadas, Jl. Magelang setelah mendapat informasi dari teman; Bp. R. Supramono Aji.

Melalui foto itu sy berdoa semoga rangkaian peristiwa 'Duka Susur Sungai Kali Sempor' dan 'Pandemi Covid-19' ini segera kita temukan titik simpul-nya, yang mana sebuah musibah apapun tidak lepas dari kehendak Sang Maha Pencipta.

Ada kalanya kita bisa menuding pihak tertentu sebagai biang mala-petaka, tapi suatu saat kita dibuat bingung karena tidak bisa menuding siapa-siapa saat bencana datang memporak porandakan tata kehidupan di sekitar kita atau di medan yang lebih luas.

Inilah saatnya untuk kita sadar bahwa jika Tuhan berkehendak, kita tak mampu melawan, kecuali kita berserah diri hingga datang pertolongan-NYA.

--[an20200524dinihari]--



Credit:
Terima kasih kepada Bp. Parjiyono atas bantuannya melengkapi cakepan (lirik) tembang Cingcing Goling yang saya lupa. Ingatannya  cukup bagus, padahal  'teman masa kecil' ini mengenal tembang Cingcing Goling saat belajar di SD Ngebel Gede (Ngalangan) atau saat di SMP Kanisius Kentungan, satu - dua tahun lebih dulu dari masa-masa sekolah saya.

WALI TERLAHIR DALAM SEPI


Hari ini tanggal 30 Romadhon 1441H berarti besok pagi sudah lebaran.

Sementara Covid-19 masih belum reda, kerinduan kita untuk bertemu kerabat dan sanak saudara juga begitu menggoda. Tetapi apakah kita akan spekulasi dengan keselamatan diri sendiri dan orang-orang terkasih kita?

Seyogyanya kita lebih mengutamakan keselamatan jiwa daripada memperturutkan rasa kangen dan kerinduan yang sebenarnya masih bisa kita curahkan dengan wujud yang lain dengan memanfaatkan media teknologi yang ada.

Jangan kita terjebak pada suasana ceria, penuh canda tawa atau bahkan hingar bingarnya hiburan tanpa menyadari bahwa kita bisa menjadi carrier atau justru yang akan tertular virus itu.

Mari kita patuhi anjuran pemerintah, baik dalam lebaran besok maupun dalam pelaksanaan ibadah, termasuk sholad Ied. Jadikan wabah (pandemi) virus Corona ini sebagai ketentuan Tuhan yg justru menghadirkan banyak hikmah.

Kita harus mulai belajar pada pengalaman 'orang-orang yang selalu rindu Tuhan'. Mereka bisa bersilaturahmi dengan Dzat Maha Suci itu dalam suasana hening, sepi dan menyendiri, bukan dalam keramaian.

Bukankah perintah i'tikaf itu sendiri hakekatnya adalah latihan untuk menyepi agar kita makin dekat dengan Sang Pencipta?

Kita tidak tahu, dari sekian ratus juta umat yang merasa khusyu' sholatnya, adakah yg telah berhasil berkomunikasi dua arah dengan Allah SWT? Padahal, saat para sahabat merasa 'nelangsa' (kata 'iri hati' tidak pas untuk konteks ini) karena tidak bisa melakukan mi'raj seperti Rasulullah SAW, beliau  menyampaikan bahwa mi'raj-nya para sahabat dan umat Rasul adalah melalui sholat.

Di sisi lain, Nabi Khidir telah mencontohkan bagaimana dirinya bisa berkomunikasi dengan Tuhannya sehingga setiap apa yang dilakukan semata-mata karena perintah atau petunjuk Rabb-nya yang mana Nabi Musa-pun tak mampu menangkap 'komunikasi ghoib' itu, padahal saat itu Nabi Musa adalah alim-alimnya orang ditengah bangsa Israel yang terkenal cerdas, pintar dan super kritis.

Syech Abdul Qodir Al Jailani, adalah contoh tokoh sufi yang pernah dibimbing oleh Baginda Khidir untuk 'menyepi' selama 7 tahun di bawah reruntuhan bangunan di padang pasir hingga mendapatkan maqom (derajad spiritual) sebagai Sulthon Auliya' (raja atau penghulu para Waliullah seluruh dunia) melalui laku tawadhu' (rendah hati), menghormati guru dan para pendahulunya (hingga pernah ditemui Rasulullah dan Sayyidina Ali secara ghoib), dan tentu selalu mendekat pada Sang Khaliq melalui thoreqot-nya di tempat sepi.

Di tanah Jawa, kita kenal cerita tentang Raden Sahid atau Brandhal Lokajaya yang setelah bertaubat digembleng oleh Sunan Bonang di tepi sungai yang sepi selama 3 tahun hingga akhirnya menjadi seorang Waliullah yang masyhur dan  legendaris; Kanjeng Sunan Kalijaga.

Waliullah yang menjadi anggota dewan Wali Sanga Kasultanan Demak Bintara, dan satu-satunya yang suka mengenakan ageman kejawen berwarna wulung (ungu kehitam-hitaman) ini, pada masa berikutnya juga menerapkan 'kurikulum kewalian' dengan thoriqot di tempat yang sunyi di tengah hutan atau padang rumput Alang-alang hingga munculnya Waliullah generasi berikutnya; Sunan Geseng (berkulit hitam karena terbakar di tengah kobaran padang rumput Alang-alang).

Apakah sekarang kita akan  berbangga dihadapan para Waliullah, atau para sahabat, atau bahkan pada Rasulullah karena kita bisa memaksakan diri untuk tetap melakukan ibadah formal di masjid-masjid yang sangat mewah dengan setelahnya selalu selfie untuk updating status di Smartphone-nya?

Kenapa kita tidak malu dengan para Waliullah yang karena rindunya pada Allah justru memilih tempat sepi dan sunyi agar sapaan dan perintah Tuhan dapat didengar tanpa gangguan kebisingan duniawi?

Marilah kita manfaatkan Covid-19 ini untuk setidaknya 'ngicipi' thoriqot-nya para Wali dan bukan sebaliknya, memaksakan diri untuk hal-hal yang sifatnya formal, apalai kalau hanya untuk selfie dengan tujuan gagah-gagahan dan mendapatkan kebanggaan kosong setelah sahabat-sahabat kita berdecak kagum melihat status Android kita.

Akankan kasih Tuhan hny kita tukar dengan kebanggaan semacam itu? Wallahu a'lam bish-showab.

--[an20200523_0823]--

23/04/2020

KIDUNG RUMEKSA WENGI


Sebenarnya tidak niat membuat tembang karena pada Selasa 14 April 2020 petang hari jm 20:01:46 itu saya hanya nyoba microphone usang merk TOA yang saya beli tahun 1981-an. Semula mic itu ber-type dynamic kecil dengan trafo impedansi, kemudian saya ubah menjadi condenser.

 



Dulu, mic itu cocok untuk persewaan Pengeras Suara dengan Horn Speaker yang di pasang pada pohon kelapa atau pohon lain yang tingginya lebih dari 10 meter.

Era 80-an, persewaan pengeras seperti itu populer dan marak di pedusunan, dimana jika ada orang hajatan, biasanya 3 hari sebelumnya sudah memasang pengeras suara yang memutar kaset lagu-lagu populer di jamannya, dan kalau malam nyetel wayang kulit (saat itu yang populer Ki Hadi Sugito, Ki Timbul Hadi Prayitno, Ki Sugi Hadi Karsono dan Ki Suparman).

Kebiasaan seperti itu bagi tamu atau  saudara-saudara jauh yang mau nyumbang benar-benar membantu karena memudahkan mencari lokasi hajatan. Berarti jaman dulu-pun ada 'share-location' yang mudah diakses dari jarak 3km-an.

Lain halnya bagi orang yang mampu, kalau hajatan bisa menanggap wayang siang-malam. Yang paling sering saya lihat saat itu adalah Ki Warno Kimpul (dengan dalang muda/wakil untuk siangnya; Ki Sutikno, Ki Laksono/Lasono, Ki Surip) dan Ki Dalang Kencuran (spesial Ramayana; tokoh kera). Sesekali ada dalang lain; Ki Suyatin Cermo Sujarwo (Gedong Kuning), Ki Gito-Gati, Ki Dalang Randusongo dan Ki Dalang Kali Bulus.

Ki Warno Kimpul itu mengesankan sekali,  suaranya agak serak (eseg), tapi sabetannya kenceng dan greget, bahkan konon kalau Setyaki menendang musuh, ada saja kaki penonton yang ikutan reflek nendang.


Hal lain yang spesifik, mbah Warno itu kalau melakonkan Baratayuda, mesti 'misuh' dan saru, tapi katanya itu jadi syarat karena beban dan resiko Baratayuda itu berat, dan sarunya masih belum seberapa dibanding dalang masa kini yang cenderung suka mengumpat dan bercanda vulgar.

Dari khasanah hajatan itu, baik sewa pengeras untuk sekedar nyetel kaset maupun pentas langsung, mic TOA jenis  dynamic sangat populer di masa-nya. Persewaan yang pas-pasan, biasanya hanya menggunakan loudspeaker 4 inchi dibungkus saputangan terus digantung, dan kalau pentas berlangsung, berkali-kali terdengar denging feedback.

Pada saat nyoba mic itu, komputer rekam yang saya beli second-an sudah saya pasang (ambil di Rusunawa Papringan dengan teman kantor melalui prosedur Covid-19 yang ketat) , dan mic-nya belum dipasang tutup.

Tidak tahu kenapa, tiba-tiba saja saya nembang Asmaradana (biasa diucapkan Asmarandana) kemudian lanjut cakepan (syair) "Ana Kidung Rumeksa Ing Wengi".

Setelah cek file, ternyata rekamannya lumayan clear, tidak sebagaimana mic dynamic yang saya punya, yang cenderung nge-Bass. Untuk condenser mic ini, stel-an Mixer untuk tombol Bass hanya datar-datar saja (biasa dikenal sebagai 0 dB) sedangkan Trebble maksimum.


Yang jadi masalah hanya efek 'Popping' untuk ucapan yang mengandung huruf 'B' dan 'P'. Kebetulan, popping filter belum dipasang, padahal sebenarnya sudah sedia tiga buah.

Hitung-hitung melengkapi 'Sholawat Asyghil' untuk membendung Covid-19, maka kidung yang konon karya Kanjeng Sunan Kalijaga inipun menjadi sarana tolak balak.


Ini menjadi sarana mohon keselamatan dan kateguhan (kekuatan lahir batin), menjauhkan celaka/bilahi, juga sebagai penangkal ulah jin setan yang jahat, teluh, tuju-tenung, (tuju bukan berarti 7), dan santet, guna-guna dari orang yang berbuat dzolim/salah-nyalahi/luput.
 


Digambarkan, kidung ini bisa mengubah api menjadi air (artinya bisa mengubah yang panas menjadi dingin/sejuk), dan pencuri akan menjauh jika mendengar kidung ini. Tentu, itu semua jika Tuhan mengijinkan.

Tapi, seperti apa sih kedekatan kita pada Tuhan? Selama ini kita sering terlalu berbangga diri dengan hanya pandai berbantah dalil tetapi tidak pernah punya laku tirakat, menyepi, mendekatkan diri pada Dzat Yang Maha Perkasa dan Maha Memiliki segalanya. Kita masih terlalu kesulitan mendengar bisikan lembut Tuhan karena nafsu kita terlalu gaduh memngganggu hati, berebut jatah untuk tampil mendominasi.



 

Silahkan klik Link ini: KIDUNG RUMEKSA WENGI

Jika Anda kesulitan meng-akses, gunakan alternatif Link ini:  KIDUNG RUMEKSA WENGI



 


Dan juga Link ini: ASMARADANA (ASMARANDANA)

Jika Anda kesulitan meng-akses, gunakan alternatif Link ini:  ASMARADANA





[an_20200423_0241 dilanjutkan 1 Romadhon 1441H atau 20200424_1330]


05/04/2020

SHOLAWAT ASYGHIL UNTUK COVID-19


Tampaknya tidak nyambung. Bukankah Sholawat Asyghil itu dibaca saat menghadapi kedzoliman rezim, atau raja yang otoriter, penguasa atau orang yang memiliki kekuatan ekstra yang umat tidak mampu membendungnya sehingga hanya mampu mengadu kepada Tuhan, Allah SWT.

Kenapa dengan Corona Virus Disease (Covid-19) itu?

Wabah itu sendiri bisa jadi ujian Tuhan kepada umat-NYA, namun, melihat beberapa tayangan di Youtube, boleh jadi virus itu memang sengaja diciptakan oleh sekelompok orang yang melibatkan ilmuwan, penguasa modal, atau tokoh-tokoh lintas benua yang mengendalikan hiruk-pikuknya politik, sosial, ekonomi dan keamanan dunia. Tentu demi keuntungan tertentu.

Kita tidak harus suudzon .. , tapi bolehlah kita waspada dan selebihnya, jika benar Corona diciptakan oleh orang dzolim dan sekarang banyak masyarakat dunia menderita karenanya, Sholawat Asyghil tidak terlalu aneh untuk dilantunkan untuk mohon perlindungan keharibaan-NYA.

Silahkan klik Link ini: SHOLAWAT ASYGHIL

Jika Anda kesulitan meng-akses, gunakan alternatif Link ini:  SHOLAWAT ASYGHIL





Oya, beberapa waktu yang lalu, gunung Merapi juga ikut terbatuk-batuk, atau memang Kyai Semar mulai meradang?

Sabar dulu, jangan-jangan gambar yang viral itu editan. Kalau ada banyak foto yang mirip dan beredar silih berganti, mungkin itu foto asli (kan yang menfoto erupsi Merapi bukan hanya satu orang saja dalam waktu yang bersamaan).

Yang ini juga kita harus berucap: "Wallahu a'lam bish-showab".


---[Jogja_an20200405_04.17]---


26/03/2020

SAYUR 7 RUPA UNTUK MENANGKAL VIRUS CORONA?


Pada mulanya, penulis bersama-sama guru karyawan mengikuti koordinasi tentang presensi, piket, dan kelas online dalam rangka antisipasi wabah Corona (Covid-19). Auditorium yang berkapasitas 500-an orang itu menjadi tidak muat karena ada ketentuan 'jarak 1 meter' atau yang lebih populer dengan istilah physical distancing.

Saat mendengarkan instriksi-instruksi, penulis sempat ditanya teman guru Bahasa Jawa yang senang 'Kejawen' tentang dua hal. Pertama: "Kenapa Kraton belum mengarak Kyai Tunggul Wulung' dan kedua: 'Harus menggunakan syarat apa untuk tolak balak ini'.


Pertanyaan pertama saya jawab bahwa (barangkali) ini belum waktunya karena tindakan pencegahan masih sangat mungkin dilakukan asal masyarakat tertib, saling membahu dengan pemerintah, tidak panik, tapi juga jangan 'kemendel'.

Yang menjadi pembanding saya adalah cerita masa kecil saat ada wabah Pes (penyakit yang dibawa oleh tukus) dimana saat itu orang desa sampai minum minyak tanah karena tidak tahu obatnya, dan bingung oleh berbagai keterbatasan; informasi, obat, teknologi kedokteran, jumlah tenaga medis dll. Disisi lain, korban yang meninggal benar-benar seperti Pageblug dalam cerita pewayangan; esuk lara sore mati, sore lara esuk mati, bahkan bisa jadi orang yang pulang melayat akhirnya menjadi layatan. Betul-betul mengerikan.

Pertanyaan kedua, ternyata teman itu justru menjawab sendiri berdasarkan pendapat Ibu-nya. Ngendika-ne keng Ibu itu: "Lele Jawa dimasak mangut", dan itu sanepa bahwa wong Jawa (Jogja hingga Nusantara) semoga diberi ketahanan hidup yang tinggi seperti halnya ikan lele yang bisa hidup dalam lumpur, bahkan bisa pindah ke lain tempat hingga sekian kilo-meter, melintasi daratan tanpa air.

Sehari, dua hari, saya masih ngolak-alik sanepa ikan lele itu, hingga akhirnya teman di Lab/Bengkel men-share adanya 'Dhawuh Ngarsa Dalem (Sultan Hamengkubuwono X)' agar masyarakat Mataram (Jogja) membuat srana tolak balak wabah Corona ini dengan sayur Lodheh tujuh bahan (bakal jangan, seperti saat Reformasi dulu, tetapi tidak memakai lompong). Tidak tanggung-tanggung, foto Ngarsa Dalem-pun disertakan, bahkan itu foto saat sinewaka, lenggah dhampar dengan ageman keprabon.

Jika itu hanya akal-akalan-nya orang iseng, rasanya terlalu berani jika harus kekudhung asma Dalem Sultan, tetapi kalau himbauan itu bukan dari Keraton, tentu ada klarifikasi untuk beberapa hari berikutnya. Toh nyatanya semua adhem-ayem saja. Ini artinya, anjuran itu memang dari Kraton, atau setidaknya jika itu masukan/saran dari penasihat spiritual atau abdi dalem, pihak Krataon sudah paring palilah (mengijinkan), atau sekurang-kurangnya, membolehkan.

Kenapa Sultan tidak dhawuh secara resmi? Tentu banyak sekali pertimbangannya karena tanggapan masyarakan sangat beragam dan dalam era medsos-mania tentu respons netizen tidak dapat dikendalikan, apalagi kalau sudah mengarah pada hal yang bernuansa budaya, tradisi atau sesuatu yang tidak logis bagi otak milenial, tentu akan menuai hujatan yang tak berkesudahan.

Pada acara FGD yang diselenggarakan Disbud DIY tentang 'Simbolisasi Kuda (turangga), Keris (dhuwung) dan Dhalang bagi Kraton Jogja' akhir 2013, penulis pernah menanyakan makna simbol-simbol dalam sesajen Jawa, dan GBPH Yudaningrat mendaulat KH. Abdul Muhaimin (dari Kotagede) untuk menjelaskan.

Kyai yang tenang dan santai itu memaparkan bahwa doa kepada Tuhan bisa diwujudkan dalam bentuk ucapan lisan, tulisan, dan simbol-simbol. Tentu untuk yang terakhir itu, simbol harus di-oncek-i (dikupas) terlebih dahulu agar tahu maksudnya sehingga orang tidak mudah menganggap gugon-tuhon, tahayul, bid'ah atau musyrik.

Jika kini simbolisasi itu marak kembali, marilah kita mencoba memaknai meski sudah ada yang viral pula makna yang mengikuti 'Himbauan Kraton' itu.

Kluwih; ka-LUWIH. Masyarakat kita harus memiliki kelebihan dalam berbagai hal. Dalam konteks wabah, kita punya kearifan lokal, punya banyak upaya dan alternatif, punya kekebalan alami karena mengkonsumsi makanan dan rempah-rempah (termasuk empon-empon; bahan masak atau jamu) hasil bumi sendiri. Maka tentu kita akan lebih percaya diri dan tidak panik, apalagi menghadapi wabah ini dengan gotong royong.

Terong; saaT-E ngeRONG. Rong adalah rumah atau tempat bersembunyinya ular, belut, sidhat, ikan lele dan sejenisnya. Artinya, kita diminta kembali ke Rong (nge-Rong) untuk berlindung, beristirahat, menjalin hubungan yang hangat dengan keluarga dengan penuh kasih-sayang sehingga masing-masing kita mendapatkan keamanan dari ancaman luar.


Dalam himbauan itu, tidak spesifik menggunakan terong ungu (wungu: Jawa). Jika harus ungu, maka artinya, di rumah bukan sekedar tidur, tapi harus selalu berjaga atau terjaga (wungu; bangun dari tidur). Kita harus tetap berkarya, berdoa. dan berbuat amal.

Waluh; uWAL saka LUH. Luh adalah air mata (kesedihan). Ini menjadi permohonan kepada Tuhan agar kita dibebaskan dari suasana yang menyedihkan yang terjadi pada diri kita, keluarga kita, sahabat-sahabat kita atau sesama rakyat Indonesia, atau bahkan sesama umat.

Kacang Panjang; kaCANG gLEYOR. Kacang bisa berarti gancang (segera) atau kencang-kenceng, sedangkan Gleyor bisa bermakna lentur (leyar-leyor). Suasana mencekam ini akan segera berlalu jika disikapi secara kenceng (serius) tetapi fleksibel, mudah beradaptasi, terutama dengan kebijakan negara/pemerintah.

Daun Melinjo; GO-DHONG SO. Mangga (monggo; ejaan jaman dulu) artinya mengajak atau mempersilahkan, dan Dhong artinya tahu, mengerti atau paham. Itu adalah ajakan untuk bisa memahami secara detail tentang segala permasalahan wabah Corona, dari 'A' sampai 'Z'. 


Jika SO itu bermakna roSO (rasa; perasaan; hati), maka dalam menghadapi wabah ini kita tetap menggunakan nurani. Kita tidak boleh membuat gaduh dengan menyebar hoax yang menggelisahkan, terlebih mengambil keuntungan dari wabah ini.
Jika SO itu diartikan sebagai pupus (pucuk daun; daun muda), maka kita harus mupus pada pepesthen-ing Gusti. Tapi, untuk pupus itu biasa disimbolkan dengan pupus pisang raja, Jadi SO biarlah tetap berarti roso (rasa) itu.

Kulit mlinjo; Buah Mlinjo (melinjo) itu seperti mimis (peluru), dan kulitnya menyerupai lulang (kulit kerbau/sapi) yang biasa digunakan sebagai jaket tebal. Maksudnya, kita harus mampu meberantas wabah tetapi kita-pun harus membekali diri dengan kekebalan yang berupa asupan makanan, vitamin, obat-obatan dan perilaku sehat sebagaimana yang direkomendasi oleh para ahli dan pemerintah,

Tempe; saaT-E dhedhePE. Saat-e (waktunya) bersandar pada Tuhan dengan banyak beribadah, berdzikir dan berserah diri dalam bentuk-bentuk tertentu. Jika perlu melalui laku prihatin sebagaimana yang disunahkan, atau menggunakan laku yang lebih berat, sebagaimana para Auliya, Waliullah, orang-orang khusus dari yang khusus.




Kenapa harus disayur Lodheh?
Sayur ini menjadi masakan rakyat jelata yang tidak mewah, maksudnya, dalam menghadapi pandemi Covid-19 kita harus menggunakan fasilitas, cara dan pengetahuan yang telah dimiliki masyarakat kita, toh kita ini hanya rakyat jelata pula. Jika dengan cara itu wabah bisa diatasi, apakah kita harus sok-sokan supaya dianggap kelompok eksklusif?

 

Akhirnya, meski fikiran saya tidak 100% benar, semoga tulisan ini membuat kita tidak skeptis terhadap upaya masyarakat tradisional kita sebagaimana saat teman di kampung bertanya tentang Srana Tolak Balak berupa Sayur 7 macam itu, saya katakan: "Jika itu maksudnya doa kebaikan dan membuat masyarakat tenang, kita masak saja, toh selain itu segar dan enak, hitung-hitung kita nglarisi penjual sayur dan ngrejekeni petani tradisional".


Mohon maaf jika salah,
Wallahu a'lam bish-showab
Gusti Allah lebih tahu tentang ini.

WAKIL KELUARGA LELAYU


PENGANTAR

Silahkan lihat pada 'PAMBAGYA HARJA MANTEN'.


WAKIL KELUARGA (LELAYU)

Ass, Wr, Wb
Muqodimah ...
Innalillahi wa ina illaihi roji’un.

Atur pakurmatan:
1. Bpk. Lurah ...  minangka pengayomaning kawula dasih ing tlatah ... , ugi pamong Desa ... (Bp. Kaur ... , ingkang rawuh),
2. Para sesepuh, pinisepuh ingkang pantes pinundhi-pundhi
3. Romo Kyai, Ibu Nyai ingkang dados pandham, pandoming panembah masyarakat ing ....
4. Para alim ulama, para sarjana sujaneng budi ingkang mastuti pepoyaning kautamen
5. Sanak kadang ingkang (tinresnan lan) sinudarsana
6. Sagung pambela sungkawa (takziah, takziyin) ingkang luhur ing budi.

Ngaturaken puji syukur
Ngonjukaken sholawat ..

Sagung para pambela sungkawa (takziyin) ingkang luhur ing budi, keparenga nyuwun palilah, kula ngadeg wonten ngarsa  jenggandika sami, awit  nuhoni dhawuh saking  Bpk/Ibu ...  kinen matur wonten ngarsa panjenengan  sami.
Inggih karana agenging raos dhuhkita, kapedhotan sih  awit sedanipun Bp/Ibu (Kyai/Nyai) ..... sengga panjenenganipun Bp/Ibu ... mboten kedugi matur piyambak, wonten ngarsa jengandika, para pambela sungkawa sami.

1. Sepisan, nadyan kepara kasep, Bpk/Ibu ...  ngaturaken pambagya kasugengan awit rawuh-ipun sagung pambela sungkawa ingkang sampun kepareng merlokaken takziah, nela-aken  raos bela sungkawa lan paring panglipur dhateng sungkawanipun keluarga (sagotrah).

2. Sak estu keluarga Bpk/Ibu ... namung saget ngaturaken agunging panuwun ingkang tanpa pepindhan (tanpa upami) awit pratela-ning raos sih-tresna menika, sinartan panuwunan, mugi Gusti Allah SWT kepareng paring ganjaran awit kesaenan panjenengan sami.

3. Sagungg pambela sungkawa, saestu Bpk/Ibu ... sa-kulawarga nyuwun pangapunten bilih anggenipun nanggapi rawuh panjenengan sami kapenggalih kirang ndadosaken rena-ning (sarju-ning) penggalih, langkung-langkung anggenipn caos palenggahan kirang trep kaliyan kalenggahan Bpk/Ibu wonten ing pemerintahan, kedinasan utawi ing madyaning masyarakat, kepara wonten saperangan ingkang kepeksa lenggah wonten ing gelaran, utawi kepeksa jumeneng awit papan ingkang rupak.  Sak estu kanthi andhap asoring manah, kula nyuwun agunging pangapunten.
Semanten ugi, nyuwun pangapunten awit anggen kula ngaturaken pawarta lelayu kala wau enjang namung sarana nawala ingkang winates, kepara namung dipun torong ing masjid/mushala, utawi sarana HP lan gethok tular saking sanak kadang (bakul sinambi-wara.

4. Para pambela sungkawa ingkang kinurmatan, keparenga kula ngaturaken riwayat singkat Almarhum (mah) ... ,
Almarhum (mah) ... lair tahun ... , sinau wonten ing .... , .... , .... , makarya minangka .... , ing .... ngantos tahun ...
Sak derengipun seda,  Almarhum (mah) ... nandhang gerah .... dinten (sawetawis dinten/ wulan/ tahun), lan sak lebetipun ..... dinten menika opname wonten griya sakit .... .
Sampun kathah pambudidaya saking putra-putra dan para sanak kadang murih Bpk/Ibu ... pinaringan sehat, ewa semanten keparenging Gusti, rikala .... , panjenenganipun kapundhut sowan pangayunan Pada.
Mila ing kalodhangan menika Bp ... ngaturaken panuwun dhateng sedaya sanak kadang ingkang sampun paring pambiyantu awujud bau-suku, penggalihan lan bandha beya ingkang mboten saget dipun kerta-aji.
Almarhum (mah) ... seda nilar garwa .... , putra .... , wayah ..... , buyut ....

6. Almarhum (mah) ... , kaparingan yuswa ... tahun, temtu kathah amal ingkang sampun katindakaken, nanging ugi mboten nama mokal bilih kedunungan lepat lan khilaf  dhateng sesami, pramila nyuwun ikhlasipun para pambela sungkawa paring pangapunten dhateng dosa kalepatanipun Almarhum (mah).
Langkung-langkung ingkang kalebet hak Adam awujud utang piutang, rembag-rembag wigatos utawi prajanjen ingkang dereng dipun rampungaken, mbok bilih wonten, keparenga sesambetan kaliyan ahli waris, insya Allah badhe karampungaken kanthi sak sae-sae-nipun.

7. Layonipun Almarhum (mah) ... , badhe kasare-aken wonten ing makam .... ingkang tebihipun kinten-kinten (udakawis) ..... meter, pramila, kasuwun para pambela sungkawa nyampurnaaken takziahipun dumugi ing palereman pungkasan.  Ewa-dene wonten sesanggeman ingkang mboten saget katilar, kulawarga namung nderekaken sugeng kondur.

8. Keluarga Bp/Ibu ... tasih nyuwun gungan, ing slebetipun 7 dalu kawiwitan kala wau dalu, dhumateng warga .... kasuwun berkahipun maos kalimah toyibah puji lan tahlil ingkang ganjaranipun kakintunaken dhateng Almarhum (mah).
Kanthi makaten insya Allah sedanipun Almarhum (mah) ... katetepNA seda ingkang husnul khotimah, kaapunten dosa kalepatanipun, katampi amal kesaenanipun, lan kaparingan papan ingkang mulya wonten ngarsa dalem Allah SWT.

Mekaten atur kula, wonten duna dungkap-ing atur, nyuwun pangapunten.
Billahi taufiq wal hidayah, wa ridho wal inayah Wass. Wr. wb.

PAMBAGYA HARJA MANTEN


PENGANTAR

Pada Selasa 25 Februari 2020 jam 00:25:34 dua file ini saya selesaikan. Untuk yang kesekian kalinya saya terdorong untuk nulis di Blog setelah ms.Indra minta teks Pambagya Manten dan Wakil Keluarga pada acara Lelayu.

Kenapa saya semangat? Inilah yang aneh. Biasanya saya enggan menuliskan teks-teks seperti ini, tapi setelah berpuluh-puluh tahun saya ingin punya generasi penerus yang berjiwa 'suka menolong' pada masyarakat sekitar, barulah saya menemukan ini.
Bahkan saat saya ketemu pertama kali, dimana 'pemuda itu' mengantarkan undangan pengajian, saya berucap: "Betapa saya menjadi iri, kenapa saya tidak kunjung menemukan pemuda yang multi talenta dan mrantasi seperti ini di sekitar saya".

Oleh karena saya seakan-akan menemukan 'kader potensial' untuk melayani masyarakat, tidak rugi-lah saya menulis teks sederhana dan simple ini agar dapat digunakan oleh pemuda-pemudi yang ingin menyumbangkan bhaktinya bagi masyarakat melalui  peran sebagai MC, Wakil Keluraga, Pambagya atau tugas-tugas lain yang nanti tentu akan makin banyak dan makin sempurna.

Tulisan ini memang sangat simple dan tidak terlalu banyak menggunakan kata-kata yang terkesan rumit, high, atau wah. Saya lebih mementingkan aspek komunikatif dan ringkas, bahkan mungkin kurang memenuhi kaidah Parama Sastra Jawa.

Suatu saat jika sudah makin luas pengalamannya, jembar sarawung-e dan matang jiwanya, silahkan dikembangkan dengan kombinasi yang rumit, seperti menggunakan bahasa Kawi, purwakanthi yang indah, parikan, wangsalan ... , dan lain-lain.

Tentu, semua itu harus disertai 'duga-prayoga'.

Silahkan, teks-nya seperti ini:


TEKS PAMBAGYA HARJA MANTEN:


Ass, Wr, Wb
Muqodimah ...


Atur pakurmatan:
1. Bpk. Lurah ...   minangka pengayomaning kawula dasih ing tlatah .... , ugi pamong Desa ...  (Bp. Kaur ... , ingkang rawuh),
2. Para sesepuh, pinisepuh ingkang pantes pinundhi-pundhi
3. Romo Kyai, Ibu Nyai ingkang dados pandham, pandoming panembah masyarakat ing ....
4. Para alim ulama, para sarjana sujaneng budi ingkang mastuti pepoyaning kautamen
5. Sanak kadang ingkang (tinresnan lan) sinudarsana

Ngaturaken puji syukur
Ngonjukaken sholawat ..

Sagung para lenggah ingkang kinurmatan, keparenga nyuwun palilah, kula ngadeg wonten ngarsa  jenggandika sami, awit  nuhoni dhawuh saking Bpk/Ibu ... (MW) kinen matur wonten ngarsa panjenengan  sami.
Inggih karana kasoking raos bombong/ mongkog sinartan raos bagya mulya sengga Bpk/Ibu ....  mboten kedugi matur piyambak,  kepeksa ngresaya dhateng kula supados dados talang-ing basa, sambeting atur.

1. Sepisan, nadyan kepara kasep, Bpk/Ibu ...  asung panembrama, ngaturaken pambagya panakrami sak rawuh-ipun Bpk/Ibu, sagung para  tamu, langkung-langkung brayat agung Bpk/Ibu ... (MK) wonten ing .... , ngriki.

2. Sak estu keluarga Bpk/Ibu ...(MW) ngaturaken agungin panuwun ingkang tanpa pepindhan (tanpa upami) dene penjenengan sami sampun kepareng rawuh ngestreni tasyakuran/ resepsi/ wiwahan dhauping temanten (akad nikah; menyesuaikan) anak kula kekalih, pun .... lan .... (MP-MK). Mugi Gusti paring piwales nugraha lan kesaenan dhateng panjenengan sami.

3. Sagung para tamu, saestu Bpk/Ibu ... (MP) sa-kulawarga nyuwun pangapunten bilih anggen kula nanggapi rawuh panjenengan sami kapenggaling kirang nujuprana (kirang gupuh, kirang rumengkuh, kirang grapyak, kirang sumanak), langkung-langkung anggen kula caos palenggahan kirang trep kaliyan kalenggahan Bpk/Ibu wonten ing pemerintahan, kedinasan utawi ing madyaning masyarakat, sak estu lumuntur-ing sih (samodra) pangaksami ingkang kula cadhang.
Semanten ugi, mbok bilih rikala kula ngaturaken serat ulem (sedhahan) wonten lepat utawi kirang jangkep panyerating asma, kula sak brayat nyuwun pangapunten.

4. Bpk/Ibu ... , sak lajengipun keparenga kula sak brayat nyuwun gungan donga pamuji, miwah pangestu murih wiwit tumapaking pahargyan/ tasyakuran/ resepsi (adicara) menika ngantos ing tembenipun, sedaya tansah jinangkung dening Gusti Allah SWT, pinaringan rancag samudayanipun, kalis saking godha-rencana cinaketaken ing karaharjan/ karahayon.
Semanten ugi, putra temanten kekalih saget nutuki kekudanganipun tiyang sepuh, keluarga, masyarakat, negari  lan agami, dados keluarga sakinah mawaddah warohmah..

5. Ing mangke mbok-bilih para putra ngladosaken unjukan sak pandherek-ipun, kasuwun Bpk/Ibu keparenga ngunjuk saha dhahar (ngedhapi/ ngresepi/ ngrahapi) kanthi mardikaning penggalih.

Mekaten atur kula, wonten (galap gangsul-ing atur), khilaf, lepat, kirang utawi langkung-ipun atur kula, ugi mbok bilih wonten kirang trep-ing subasita, nyuwun pangapunten.
Billahi taufiq wal hidayah, wa ridho wal inayah Wass. Wr. wb.


Ket:
MP = Manten Putri
MK = Manten Kakung

Menawi acara nikahan, acara dipun jumbuh-aken, lan panyebatipun:
CMP = Calon Manten Putri
CMK = Calon Manten Kakung

20/02/2020

MARS STM PEMBANGUNAN


Selepas briefing Senin pagi (2 mingguan), penulis diberitahu teman bahwa Bu Heri Afrahatu ingin ketemu. Ternyata teman guru itu ingin merekam Mars STM Pembangunan oleh Paduan Suara STEMBAYO.

Saya minta ketemu koordinatornya dulu untuk membicarakan teknis rekamannya karena studio 'ANGIN KEMBARA' yang dibuat tahun 2014 itu terlalu minimalis, tidak mungkin menampung 20 siswa.

Jum'at, 14 Februari 2020, Zhafran Huda (kelas XI TFLM-B) dengan satu temannya datang menanyakan tentang rencana rekaman.

Setelah memahami teknis rekaman, sepakat, Selasa sore rekaman dua sesi, putri dulu (8 siswa), kemudian putra (8 siswa) dengan dipandu conductor (dirigent) yang mendengarkan musik pemandu (MIDI) melalui headphone.

Ternyata, hari Selasa (18/02/2020) anak-anak dan pelatih (ngiras jadi dirigent) datang, tapi sudah lewat jam 16.00, dan yang putri datang banyak, nyaris tidak muat, padahal ruang rekam hanya dilengkapi AC kecil dengan blower antar ruang yang minimalis pula. Tapi biarlah mereka punya kenangan; rekaman di ruang yang gerah.

Dengan fasilitas yang tidak terlalu baik, inilah hasilnya.

Silahkan klik Link ini: MARS STM PEMBANGUNAN

Jika Anda kesulitan meng-akses, gunakan alternatif Link ini:  MARS STM PEMBANGUNAN (SMKN 2 DEPOK)




Personil yang ikut rekaman(berdasarkan WA dari ms. Zhafran Huda Sena pada 02-27-20):

Pelatih: Marga Saputra
Konduktor: Marga Saputra
Koordinator: Muhammad Adnan (XI KA-B)

Siswa yang mengikuti rekaman Mars Stembayo:
1. Wastari Latifah T.R (X DPIB)
2. Muhammad Syahri Mai Dhani (X TEDK-B)
3. Abizar Haqqan (X SIJA-A)
4. Agung Nugroho (X SIJA-A)
5. M. Rian Hanafi (X SIJA-B)
6. Nur Aziz (X SIJA-B)
7. Zainal Abidin (X SIJA-B)
8. Angelyn Hermanindya (X TOI-A)
9. Sarah Salsabilla Mulya (X TOI-B)
10. Nova Puspita Sari (X TOI-B)
11. M. Firman Nurhadi (X TFLM-B)
12. Raditya Yudi H. (X TFLM-B)
13. Agustina Dwi Palas Sari (X KI-A)
14. Aisyah Nita A. (X KI-A)
15. Elvita Astrin M. (X KI-A)
16. Ika Sri Wulandari (X KI-A)
17. Bella Auralia Noviana (X KA-A)
18. Shifa Diaz A. (X KA-B)
19. Annisa Nurul F. (X GP-A)
20. Raydinda A.I. (X GP-B)
21. Wulan Sari (X GP-B)
22. Aprilia Lasminingsih (X-TPMP)
23. Furi Rahmadhani (X TPMP)
24. Sabbih Fadhillah Saputri (X TPMP)
25. Zhafran Huda Sena (XI TFLM-B)
26. Aprilia Wahyu Kusumastuti (XI KA-A)
27. Ardha Pria I. (XI KA-A)
28. Muhammad Adnan (XI KA-B)







[an20200219_21:37]



24/01/2020

BUNGAN SANDAT


Saat memanfaatkan kuota malam (daripada mubadzir tidak terpakai), iseng-iseng nonton film di Youtube, dan nyasar pada lagu Bali, maka teringatlah saya saat Diklat Bahasa Inggris tingkat Nasional di PPPG Parung (Bogor) sekitar Juli hingga Oktober 2003, disana pernah diajari lagu Pop Daerah Bali oleh teman; I Gusti Nyoman Dana dari SMK Negeri 2 Denpasar, Bali.

Awalnya teman itu hanya menunggui saya main gitar milik teman se-kamar sambil nyanyi-nyanyi santai, terus saya diminta ngiringi nyanyi lagu Bali itu, dan saya jadi tertarik dengan lagu itu, tertarik oleh lagunya dan oleh makna syairnya.

Akhirnya teman itu ngajari lagu Bungan Sandat, lengkap dari lagu, syair, arti dan cara mengucapkan kata-katanya, terutama untuk huruf 't' yang harus dibaca 'th' dan juga ucapan yang 'e' yang saling berbeda.

Makna umum lagu itu adalah pesan orang tua kepada anak gadisnya yang digambarkan dengan perbandingan antara Bungan Sandat (bunga Kenanga) dan Kembang Bintang (bunga Sepatu).

Bunga Sepatu berwarna merah dan sangat menarik saat bunga berkembang, tapi begitu sebentar layu, bunga itu menjadi tidak berharga dan berserakan di pinggir jalan.

Sementara, bunga Kenanga, meski warnanya tidak menyolok dan cenderung agak pucat, tapi aroma wanginya tak kunjung hilang, bahkan sampai bunga itu layu tetap dihormati dan mengharumkan tempat-tempat suci.

Pembuatan musik dan rekaman lagu Bungan Sandat ini saya lakukan pada minggu ke-3 Januari 2020 setelah memberikan gambaran pada anak-anak untuk membuat Master Audio (musik MP3) menggunakan Midi Maker, rekaman alat musik akustik dan rekaman Vokal.

Silahkan klik Link ini: BUNGAN SANDAT

Jika Anda kesulitan meng-akses, gunakan alternatif Link ini:  BUNGAN SANDAT


Foto untuk Cover MP3 ini diambil di depan hotel Batukaru, Denpasar, Bali oleh Andik Asmara (yang saat itu menjadi Juara-3 Teknik Audio-Video Lomba Kompetensi Siswa; LKS) Tingkat Nasional 2005 yang diselenggarakan di SMK Negeri 1 Denpasar.


--[20200124_10:50]--