20/05/2020

KICAU BURUNG CINGCING GOLING DAN SEMANGAT KEBANGKITAN


Hari ini tanggal 1 Syawal 1441H yang mestinya menjadi hari kemenangan umat Islam karena telah sebulan melaksanakan ibadah puasa.

Namun di luar sana justru beredar 'jeritan pesimis' melalui tagar 'Indonesia Terserah' karena sulitnya mentertibkan masyarakat untuk mematuhi protokol penanggulangan Covid-19. Jalan makin ramai, pasar dan pusat perbelanjaan juga makin padat, bahkan masker mulai ditanggalkan.

Pantas saja kemarin ada tayangan di TV; Bupati Lumajang marah sampai mengusir pengunjung salah satu pusat perbelanjaan karena tidak memenuhi protokol kesehatan.

Di satu sisi, kita tahu bahwa warga masyarakat yang melakukan isolasi mandiri di kampung mulai resah karena beratnya beban hidup dan meningkatnya kejenuhan. Tetapi, apakah kita akan membiarkan semua pihak yang telah berjuang menghadapi virus Corona akhirnya berucap: "Sak karepmu, sangganen dhewe!" .. , seperti itu?
Jangan ..!!

Meski kita hanya bagian terkecil dari perjuangan itu, tak selayaknya kita patah arang. Kita harus tetap semangat dengan harapan bahwa esok akan menjadi lebih baik. Itu sejalan dengan QS. Al Nasyroh: "Sesungguhnya sesudah kesulitan, ada kemudahan".

Saya teringat saat belajar di SD (atau SMP; era 1970-an) pernah diajari tembang Mijil yang bercerita tentang indahnya pagi hari dengan kicau burung Cingcing Goling dan semangat membuka hutan untuk lahan pertanian.

Silahkan klik Link ini: CINGCING GOLING (SLENDRO)

Jika Anda kesulitan meng-akses, gunakan alternatif Link ini:  CINGCING GOLING (SL)




Silahkan klik Link ini: CINGCING GOLING (PELOG)

Jika Anda kesulitan meng-akses, gunakan alternatif Link ini:  CINGCING GOLING (PL)



Seorang Dyah (Raden, keturunan raja atau pembesar) meloloskan diri dari keraton oleh suatu sebab, kemudian membuka hutan untuk tempat tinggal dan bercocok tanam.

Tokoh itu akan menjadi Cikal Bakal dari sebuah dusun, kabuyutan atau kademangan yang subur, aman, nyaman, tenteram dan tangguh/ disegani, atau menjadi kota yang ramai dan maju yang bahkan bisa berkembang menjadi Ibukota negara, sementara Sang Cikal Bakal itu akan selalu dikenang dan dimuliakan dari generasi ke generasi melalui upacara adat atau kenduri kampung pada saat-saat tertentu.

Insya Allah ini bukan sebuah kemusyrikan tetapi lebih pada pembangunan budi pekerti dan adab "tahu berterima kasih' pada para pendahulu.

Pada tembang itu, 'Sang Dyah sigra nglempak piranti-ne' artinya alat dan teknologi yg ada pada zamannya dimanfaatkan secara optimal untuk menjawab tantangan kehidupan

'Babad wana kinarya sesabin' adalah mengubah suatu lahan liar menjadi tanah garapan yang diolah melalui perhitungan yang matang, meliputi kesuburan tanah, saluran air, waktu tanam-petik dan pranata mangsa yang berhubungan dengan siklus alam, serta hama yang merusak/merugikan.

Yang terakhir 'lan pra abdi tuwin telukan pepitu' artinya kerja itu melibatkan banyak pihak; orang terdekat dan relasi-relasi yang mendukung.

Seorang calon pemimpin yang akan bergelar Ki Buyut, Ki Gede atau Ki Ageng selalu menghargai orang lain karena memahami bahwa hasil kerja kolektif itu akan menghasilkan karya besar dan menumbuhkan rasa kebersamaan serta rasa handarbeni yang tinggi.

Bagaimana dengan Covid-19 ini? Tentu inipun tak jauh beda dengan 'babad wana/alas' untuk menyongsong munculnya tatanan/ budaya baru 'New Normal'.

Sepantasnya hal ini kita hadapi dengan penuh optimis sebagaimana Sang Dyah bekerja di pagi hari ditengah sinar mentari yang hangat dan kicau burung Cingcing Goling yang bercanda diatas dahan dari pohon besar (luhuring kekayon).

Maka dalam menghadapi pandemi Covid-19, tagar "Indonesia Terserah" harus diubah menjadi "Indonesia Jangan Menyerah" sehingga jika nanti diberlakukan "New Normal" itu bukan berarti kita sudah putus asa atau "semplah" tetapi budaya hidup baru itu semestinya dimaknai sebagai "pertahanan, keamanan dan perlawanan rakyat semesta" terhadap wabah yang muncul pertama di Wuhan, China itu.

Jika 'Sang Dyah' pada tembang itu kita asumsikan sebagai Sang Dyah Sanggrama Wijaya (Raden Wijaya), maka kita harus mengadopsi semangat para ksatria, tentara dan rakyat Singasari saat menghadapi pasukan Mongol yang terkenal sangat perkasa, yang konon khabarnya menguasai dua pertiga Dunia.

Toh kenyataannya saat itu tentara Mongol bisa dikalahkan, dihancurkan dan dipermalukan hingga akhirnya peristiwa itu justru menjadi tonggak baru munculnya imperium besar; Majapahit yang mempersatukan Nusantara dibawah panji 'Gula Klapa' embrio Sang Merah Putih.

Foto pohon beringin raksasa pada Cover MP3 tembang itu saya ambil tanggal 25 Mei 2016 di tepi Kali Sempor dekat dusun Dukuh dan dusun Wadas, Jl. Magelang setelah mendapat informasi dari teman; Bp. R. Supramono Aji.

Melalui foto itu sy berdoa semoga rangkaian peristiwa 'Duka Susur Sungai Kali Sempor' dan 'Pandemi Covid-19' ini segera kita temukan titik simpul-nya, yang mana sebuah musibah apapun tidak lepas dari kehendak Sang Maha Pencipta.

Ada kalanya kita bisa menuding pihak tertentu sebagai biang mala-petaka, tapi suatu saat kita dibuat bingung karena tidak bisa menuding siapa-siapa saat bencana datang memporak porandakan tata kehidupan di sekitar kita atau di medan yang lebih luas.

Inilah saatnya untuk kita sadar bahwa jika Tuhan berkehendak, kita tak mampu melawan, kecuali kita berserah diri hingga datang pertolongan-NYA.

--[an20200524dinihari]--



Credit:
Terima kasih kepada Bp. Parjiyono atas bantuannya melengkapi cakepan (lirik) tembang Cingcing Goling yang saya lupa. Ingatannya  cukup bagus, padahal  'teman masa kecil' ini mengenal tembang Cingcing Goling saat belajar di SD Ngebel Gede (Ngalangan) atau saat di SMP Kanisius Kentungan, satu - dua tahun lebih dulu dari masa-masa sekolah saya.

WALI TERLAHIR DALAM SEPI


Hari ini tanggal 30 Romadhon 1441H berarti besok pagi sudah lebaran.

Sementara Covid-19 masih belum reda, kerinduan kita untuk bertemu kerabat dan sanak saudara juga begitu menggoda. Tetapi apakah kita akan spekulasi dengan keselamatan diri sendiri dan orang-orang terkasih kita?

Seyogyanya kita lebih mengutamakan keselamatan jiwa daripada memperturutkan rasa kangen dan kerinduan yang sebenarnya masih bisa kita curahkan dengan wujud yang lain dengan memanfaatkan media teknologi yang ada.

Jangan kita terjebak pada suasana ceria, penuh canda tawa atau bahkan hingar bingarnya hiburan tanpa menyadari bahwa kita bisa menjadi carrier atau justru yang akan tertular virus itu.

Mari kita patuhi anjuran pemerintah, baik dalam lebaran besok maupun dalam pelaksanaan ibadah, termasuk sholad Ied. Jadikan wabah (pandemi) virus Corona ini sebagai ketentuan Tuhan yg justru menghadirkan banyak hikmah.

Kita harus mulai belajar pada pengalaman 'orang-orang yang selalu rindu Tuhan'. Mereka bisa bersilaturahmi dengan Dzat Maha Suci itu dalam suasana hening, sepi dan menyendiri, bukan dalam keramaian.

Bukankah perintah i'tikaf itu sendiri hakekatnya adalah latihan untuk menyepi agar kita makin dekat dengan Sang Pencipta?

Kita tidak tahu, dari sekian ratus juta umat yang merasa khusyu' sholatnya, adakah yg telah berhasil berkomunikasi dua arah dengan Allah SWT? Padahal, saat para sahabat merasa 'nelangsa' (kata 'iri hati' tidak pas untuk konteks ini) karena tidak bisa melakukan mi'raj seperti Rasulullah SAW, beliau  menyampaikan bahwa mi'raj-nya para sahabat dan umat Rasul adalah melalui sholat.

Di sisi lain, Nabi Khidir telah mencontohkan bagaimana dirinya bisa berkomunikasi dengan Tuhannya sehingga setiap apa yang dilakukan semata-mata karena perintah atau petunjuk Rabb-nya yang mana Nabi Musa-pun tak mampu menangkap 'komunikasi ghoib' itu, padahal saat itu Nabi Musa adalah alim-alimnya orang ditengah bangsa Israel yang terkenal cerdas, pintar dan super kritis.

Syech Abdul Qodir Al Jailani, adalah contoh tokoh sufi yang pernah dibimbing oleh Baginda Khidir untuk 'menyepi' selama 7 tahun di bawah reruntuhan bangunan di padang pasir hingga mendapatkan maqom (derajad spiritual) sebagai Sulthon Auliya' (raja atau penghulu para Waliullah seluruh dunia) melalui laku tawadhu' (rendah hati), menghormati guru dan para pendahulunya (hingga pernah ditemui Rasulullah dan Sayyidina Ali secara ghoib), dan tentu selalu mendekat pada Sang Khaliq melalui thoreqot-nya di tempat sepi.

Di tanah Jawa, kita kenal cerita tentang Raden Sahid atau Brandhal Lokajaya yang setelah bertaubat digembleng oleh Sunan Bonang di tepi sungai yang sepi selama 3 tahun hingga akhirnya menjadi seorang Waliullah yang masyhur dan  legendaris; Kanjeng Sunan Kalijaga.

Waliullah yang menjadi anggota dewan Wali Sanga Kasultanan Demak Bintara, dan satu-satunya yang suka mengenakan ageman kejawen berwarna wulung (ungu kehitam-hitaman) ini, pada masa berikutnya juga menerapkan 'kurikulum kewalian' dengan thoriqot di tempat yang sunyi di tengah hutan atau padang rumput Alang-alang hingga munculnya Waliullah generasi berikutnya; Sunan Geseng (berkulit hitam karena terbakar di tengah kobaran padang rumput Alang-alang).

Apakah sekarang kita akan  berbangga dihadapan para Waliullah, atau para sahabat, atau bahkan pada Rasulullah karena kita bisa memaksakan diri untuk tetap melakukan ibadah formal di masjid-masjid yang sangat mewah dengan setelahnya selalu selfie untuk updating status di Smartphone-nya?

Kenapa kita tidak malu dengan para Waliullah yang karena rindunya pada Allah justru memilih tempat sepi dan sunyi agar sapaan dan perintah Tuhan dapat didengar tanpa gangguan kebisingan duniawi?

Marilah kita manfaatkan Covid-19 ini untuk setidaknya 'ngicipi' thoriqot-nya para Wali dan bukan sebaliknya, memaksakan diri untuk hal-hal yang sifatnya formal, apalai kalau hanya untuk selfie dengan tujuan gagah-gagahan dan mendapatkan kebanggaan kosong setelah sahabat-sahabat kita berdecak kagum melihat status Android kita.

Akankan kasih Tuhan hny kita tukar dengan kebanggaan semacam itu? Wallahu a'lam bish-showab.

--[an20200523_0823]--