24/03/2022

MEMUSNAHKAN WAYANG?


Akhir-akhir ini jagat maya dihebohkan oleh beredarnya video kontroversi dari seorang ustadz yang ‘merekomendasi’ untuk memusnahkan wayang dan tobat nasuha bagi pemiliknya.


Spontan video itu mendapat respon yang masif dari netizen karena ustadz tersebut seakan menorehkan stigma haram pada karya seni pedalangan serta mengusik eksistensi ormas keagamaan yang menjadi penerus perjuangan Wali Sanga yang memanfaatkan gamelan dan wayang sebagai media dakwah kala itu.

Bagi yang memahami wayang dengan segala aspeknya, tentu mafhum bahwa media dakwah ini sangat kompatibel dengan risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW, disana ada teladan akhlakul karimah, kemasyarakatan, ekonomi, hukum, politik, spiritualitas dll.

Dilain pihak, wayang menyatukan umat dalam suasana yang hangat melalui kesamaan emosinal; karena dalang, lakon, pengrawit atau waranggana idolanya. Pantas saja dulu Kyai Chudlori (Ponpes Tegalrejo) mengambil keputusan nyleneh yang jika orang tidak cukup ilmunya tentu akan mencemooh sikap itu. Bagaimana tidak, saat datang sekelompok anggota masyarakat yang berselisih atas pemanfaatan uang kas, ulama kharismatik itu justru menyarankan untuk membeli gamelan lebih dulu.

Faktanya, oleh keberadaan gamelan itu, orang berdatangan dengan sukarela dan barulah dakwah dilaksanakan secara santun tanpa ada friksi yang berarti karena sifat momong, momot dan momor dari Sang Kyai. Tak lama kemudian ternyata masyarakat justru mampu membangun masjid dengan dana swadaya.

Perdebatan halal haramnya wayang sudah dikompromikan saat Sunan Kalijaga ingin membuat Wayang Thengul, sementara Sunan Giri melarang karena menggambar makhluk yang bernyawa hukumnya haram apalagi membuat wayang tiga dimensi yang menyerupai patung atau berhala. Maka ditengahilah dua pendapat itu dengan menciptakan wayang berbentuk pipih dan tangannya sangat panjang, jadilah Wayang Kulit.

Kompromi itu juga berlaku pada Wayang Golek Purwa dan Wayang Golek Menak. Boneka wayang itu dibuat buntung (hanya kepala sampai perut), selebihnya dihias kain sampai bagian bawah.

Selain melalui bentuk fisik, para Wali juga menyematkan kalimat tauhid pada tatahan wayang disamping pesan-pesan moral pada busana dan asesoris masing-masing tokoh. Pantas saja dalang tidak mau nglangkahi wayang karena hal itu dianggap pamali.  Mereka begitu ta’dzim pada wayang, bahkan sering seorang dalang menempelkan wayang di dada atau bahkan menciumnya. Itu ungkapan mahabbah kepada Allah yang lafadz-nya terukir pada wayang.

Jika boneka wayang itu akan dipergelarkan, diperlukan iringan gamelan. Sajian ‘orchestra’ gamelan yang rampak-sigrak, bagus dan apik  adalah pesan bagi masyarakat untuk hidup harmonis, taat aturan dan saling tenggang rasa. Masing-masing faham perannya, kapan harus lembut, bersuara keras, berjalan cepat dan kapan harus berhenti.

Dengan meminjam istilah dari seorang ulama, suara gamelan yang dominan ‘Nang, Neng, nDang, Gung’ itupun menjadi pesan spiritual; “Kena nang kana, kena neng kene, nanging aja ketungkul, ndang-ndang manembah-a marang Kang Maha Agung”. Dan bahkan sesaji kembang-telon; Mawar, Kenanga, Kanthil, itupun sarat dengan pesan: “Urip iku mawarna-warna, kena-ngana, kena-ngene, nanging aja lali tansah kumanthil marang Gusti Kang Maha Kuwasa”.

Maka, apakah waranggana yang duduk manis timpuh dan pengrawit yang bersila tafakur (wiyogabrata) itu masih dianggap kurang sopan? Apakah busana dengan surjan (baju taqwa) dan iket-blangkon yang menyerupai sorban itu juga buruk? Allahu a’lam bish-showab.

 Sikapi Positif

Gerakan anti budaya harus dihadapi, tidak dengan cara anarkhis namun dengan cara yang berbudaya, bermartabat dan terpelajar. Ini justru membuka peluang untuk lebih banyak menggarap  pedalangan dengan karya kreatif tanpa mengesampingkan makna yang esensial, mendidik, mencerahkan, menyemangati dan menghibur masyarakat. Tentu ini akan sangat mambantu pemerintah dalam banyak hal, terlebih dalam menumbuh-suburkan jiwa Pancasila dan Bela Negara.

Yakinlah bahwa “Pil Pahit” ini menyehatkan. Setidaknya seniman pedalangan menjadi tergugah daya juangnya, tumbuh rasa kebersamaannya, dan menyala jiwa kebangsaannya. Semoga ini semua justru akan mengembalikan wayang pada marwahnya sebagaimana saat ditangan para Waliullah.

 

Anang Prawoto
Pecinta Pedalangan
Tinggal di Jakal km. 10,3

Jogja

Kamis, 24 Maret 2022 Jam 00:35