KARAKTER SISWA KITA AKAN SEPERTI APA
Oleh: Anang Prawoto
"Agni. Pusaka yang aku katakan itu, masih harus dicari. Aku hanya dapat menunjukkan kepadamu, tempat dan bentuknya. Semoga kau akan dapat menemukannya".
"Apabila kau berhasil Agni, maka kedua pusaka itu akan menjadi pasangan pusaka yang tak ternilai. Pusaka itu akan menjadi sedemikian saktinya, sehingga orang yang mempergunakannya akan kalis dari kekalahan. Siapa pun lawannya. Kau mengerti?"
Oleh: Anang Prawoto
"Agni. Pusaka yang aku katakan itu, masih harus dicari. Aku hanya dapat menunjukkan kepadamu, tempat dan bentuknya. Semoga kau akan dapat menemukannya".
"Apabila kau berhasil Agni, maka kedua pusaka itu akan menjadi pasangan pusaka yang tak ternilai. Pusaka itu akan menjadi sedemikian saktinya, sehingga orang yang mempergunakannya akan kalis dari kekalahan. Siapa pun lawannya. Kau mengerti?"
Kalimat itu adalah petikan dari cerita bersambung 'Pelangi di Langit Singasari' karya SH. Mintardja.
Mahisa Agni mendapat perintah dari gurunya; Empu Purwo, untuk mencari Kayu Wregu Putih di lereng gundul gunung Semeru agar menjadi pesilat nomor wahid yang tak tertandingi oleh siapapun.
Sebagai pemuda belia, Mahisa Agni sangat tergiur oleh iming-iming duniawi itu karena dengan kesaktian yang tinggi, kekuasaan, harta dan segala kenikmatan duniawi bisa diraih.
Perjalanan ke gunung Semeru itu tidaklah mulus, terjalnya lereng pegunungan, gangguan 'penyamun' dan tekanan mental mesti dihadapi Mahisa Agni dengan ketajaman akal budi dan bekal kanuragan yang dipelajari di Padepokan Ponowijen.
Namun, ujian terbesar justru saat Mahisa Agni sudah mendapatkan Kayu Wregu Putih dimana seorang tetua dari lereng gunung (Ki Buyut Winong) dengan memelas meminta Kayu Wregu Putih itu untuk menyembuhkan warganya yang terserang wabah penyakit.
Pergolakan batin Mahisa Agni benar-benar riuh dan menghentak-hentak dadanya, disatu sisi ingin menjadi pendekar paling sakti di muka bumi, namun disisi yang lain hatinya tidak tega melihat rakyat kecil itu menderita.
Ia berteriak-teriak untuk melawan pergolakan batin yang menghimpit. Hampir saja ia mengusir orang tua itu dengan kasar karena jiwanya nyaris kehilangan kendali.
Ia tidak ingin berjaya diatas tumpukan mayat orang se Kabuyutan, tapi otaknya membuat alibi bahwa kesaktian itupun nanti bisa digunakan untuk melindungi dan menyelamatkan orang banyak dari kejahatan penyamun dan perampok, atau kekejaman penguasa.
Dialog dramatik itu akhirnya anti klimaks setelah Ki Buyut Winong menyerah dan tidak ingin merebut Kayu Wregu Putih tetapi ia justru titip pesan untuk disampaikan kepada penduduk Kabuyutan Winong bahwa dirinya tidak berhasil mengambil Kayu Wregu Putih di gua kecil lereng gundul gunung Semeru, bahkan dirinyapun tentu akan mati disitu.
Mendengar pesan Ki Buyut Winong, Mahisa Agni benar-benar terguncang karena merasa betapa dirinya sangat kerdil dan egois, ia hanya mementingkan diri sendiri, sedang orang tua itu akan mati demi memperjuangkan nyawa orang banyak.
Oleh sentuhan rasa iba dan welas asih, tak urung lemaslah Mahisa Agni, pendekar perkasa yang dengan pusaka Trisula mampu mengimbangi kesaktian Ken Arok saat bertempur di Padang Karautan. Kayu Wregu Putih yang akan menjadi pasangan Trisula yang maha sakti itu akhirnya diserahkan kepada Ki Buyut Winong, dan orang tua itu menjadi bengong melihat perubahan sikap Mahisa Agni.
Namun, saat Mahisa Agni dengan langkah lunglai akan pulang mengadukan kegagalannya, peristiwa mengejutkan kembali mengguncang hatinya. Gurunya mencegat di lereng gunung, tidak jauh dari gua kecil itu. Ia menjadi benar-benar pucat dan sedih karena telah mengecewakan gurunya.
Tetapi ternyata gurunya justru tersenyum dan dengan rasa penuh kasih Empu Purwo menyerahkan Kayu Wregu Putih.
Teryata semua ujian itu dilakukan sendiri oleh Mpu Purwo dalam rangka menjajagi kematangan jiwa, menakar keseimbangan lahir-batin dan menumbuhkan rasa berserah diri pada Yang Maha Kuasa sebelum murid tersayangnya mendapatkan warisan ilmu tertinggi perguruan.
Mahisa Agni mendapat perintah dari gurunya; Empu Purwo, untuk mencari Kayu Wregu Putih di lereng gundul gunung Semeru agar menjadi pesilat nomor wahid yang tak tertandingi oleh siapapun.
Sebagai pemuda belia, Mahisa Agni sangat tergiur oleh iming-iming duniawi itu karena dengan kesaktian yang tinggi, kekuasaan, harta dan segala kenikmatan duniawi bisa diraih.
Perjalanan ke gunung Semeru itu tidaklah mulus, terjalnya lereng pegunungan, gangguan 'penyamun' dan tekanan mental mesti dihadapi Mahisa Agni dengan ketajaman akal budi dan bekal kanuragan yang dipelajari di Padepokan Ponowijen.
Namun, ujian terbesar justru saat Mahisa Agni sudah mendapatkan Kayu Wregu Putih dimana seorang tetua dari lereng gunung (Ki Buyut Winong) dengan memelas meminta Kayu Wregu Putih itu untuk menyembuhkan warganya yang terserang wabah penyakit.
Pergolakan batin Mahisa Agni benar-benar riuh dan menghentak-hentak dadanya, disatu sisi ingin menjadi pendekar paling sakti di muka bumi, namun disisi yang lain hatinya tidak tega melihat rakyat kecil itu menderita.
Ia berteriak-teriak untuk melawan pergolakan batin yang menghimpit. Hampir saja ia mengusir orang tua itu dengan kasar karena jiwanya nyaris kehilangan kendali.
Ia tidak ingin berjaya diatas tumpukan mayat orang se Kabuyutan, tapi otaknya membuat alibi bahwa kesaktian itupun nanti bisa digunakan untuk melindungi dan menyelamatkan orang banyak dari kejahatan penyamun dan perampok, atau kekejaman penguasa.
Dialog dramatik itu akhirnya anti klimaks setelah Ki Buyut Winong menyerah dan tidak ingin merebut Kayu Wregu Putih tetapi ia justru titip pesan untuk disampaikan kepada penduduk Kabuyutan Winong bahwa dirinya tidak berhasil mengambil Kayu Wregu Putih di gua kecil lereng gundul gunung Semeru, bahkan dirinyapun tentu akan mati disitu.
Mendengar pesan Ki Buyut Winong, Mahisa Agni benar-benar terguncang karena merasa betapa dirinya sangat kerdil dan egois, ia hanya mementingkan diri sendiri, sedang orang tua itu akan mati demi memperjuangkan nyawa orang banyak.
Oleh sentuhan rasa iba dan welas asih, tak urung lemaslah Mahisa Agni, pendekar perkasa yang dengan pusaka Trisula mampu mengimbangi kesaktian Ken Arok saat bertempur di Padang Karautan. Kayu Wregu Putih yang akan menjadi pasangan Trisula yang maha sakti itu akhirnya diserahkan kepada Ki Buyut Winong, dan orang tua itu menjadi bengong melihat perubahan sikap Mahisa Agni.
Namun, saat Mahisa Agni dengan langkah lunglai akan pulang mengadukan kegagalannya, peristiwa mengejutkan kembali mengguncang hatinya. Gurunya mencegat di lereng gunung, tidak jauh dari gua kecil itu. Ia menjadi benar-benar pucat dan sedih karena telah mengecewakan gurunya.
Tetapi ternyata gurunya justru tersenyum dan dengan rasa penuh kasih Empu Purwo menyerahkan Kayu Wregu Putih.
Teryata semua ujian itu dilakukan sendiri oleh Mpu Purwo dalam rangka menjajagi kematangan jiwa, menakar keseimbangan lahir-batin dan menumbuhkan rasa berserah diri pada Yang Maha Kuasa sebelum murid tersayangnya mendapatkan warisan ilmu tertinggi perguruan.
PPDB dan MPLS
Setelah usai masa PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru), mulai tanggal 13 Juli yang lalu sekolah-sekolah telah menyelenggarakan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) dengan cara vitual melalui program-program dalam jaringan (daring).
Dalam kondisi normal sebagaimana tahun-tahun yang lalu, MPLS selalu diselenggarakan dengan hingar bingar karena peserta didik (siswa) baru itu bak tamu yang ditunggu-tunggu dengan berbagai harapan. Suasananya benar-benar fresh dan banyak sukacita meski juga banyak tugas dalam rangka lebih mengenal lingkungan sekolah dengan budaya spesifiknya dan juga belajar menghargai waktu.
Tentu akan bertebaran slogan tentang pendidikan karakter disana meski fakta pelaksanaannya lebih bersifat formal dan bukan esensial.
Di era milenial, tentu para pendidik (guru) tidak perlu bertindak ekstrem seperti Empu Purwo dalam mematangkan jiwa peserta didiknya, dan tidak harus pula siswa meniru Mahisa Agni untuk mencari goa kecil di lereng gunung demi sepotong Kayu Wregu Putih.
Ada hal penting yang bisa dipetik dari cerita itu, pertama, sebuah iming-iming yang bersifat duniawi itu wajar adanya karena remaja milenial tentu tergiur oleh hal yang menyilaukan mata, terlihat "Waauw", yang keren dan trendy.
Menjadi orang paling pintar, paling gagah, paling berkuasa, paling kaya, atau paling populer, itu wajar menjadi cita-cita anak milenial sebagaimana Mahisa Agni tergiur menjadi pendekar paling sakti di jamannya.
Tetapi, akhlak/budi-pekerti, spiritualitas, kecerdasan sosial dan aspek batiniah lainnya, harus diolah dengan 'kurikulum khusus' yang tidak semata-mata bersifat formal, berupa data numerik atau tampilan ststistik diatas kertas semata.
Tentu pergolakan batin Mahisa Agni tidak akan pernah dirasakan oleh siswa yang hanya belajar di kelas, membaca buku atau browsing internet.
Pertanyaan dari guru tentang hal-hal yang dilematis di dalam kelas hanyalah simulasi semata, sedang pengalaman langsung menghadapi masalah kehidupan yang nyata, yang menuntut sebuah pengobanan secara sungguh-sungguh adalah ujian yang nyaris sempurna.
Adakah diantara kita berani melakukan ujian seperti itu? Ujian yang menuntut Sang Guru ikut menyusuri hutan, rawa-rawa dan lereng terjal tanpa diketahui oleh orang lain demi sempurnanya ujian hingga mampu membuat muridnya masuk pada keadaan jiwa di ambang histeris oleh pergolakan batin yang dahsyat?
Tentu bagi siswa kita sekarang bukanlah hutan, rawa-rawa dan lereng terjal dalam arti yang sebenarnya, tetapi kita perlu mendidik anak-anak kita menghadapi pergolakan batin paling dahsyat agar nanti terlahir generasi paripurna, negarawan sejati, satria pinandhita, insan kamil, yang bukan hanya pintar dan cerdas, tapi juga berbudi luhur.
Tentu kitapun selalu berdoa untuk itu.
Draft: 10 Juli 2020, 13:52
Edit terakhir: 19 Juli 2020, 23:21