Cerita tentang Sandya Kala Majapahit selalu dikaitkan dengan tokoh Sabda Palon (mestnya ada temannya Naya Genggong). Kita tidak tahu, apakah itu hanya mitos, fantasi, khayalan atau memang benar2 peristiwa nyata ada, meski tokoh itu bisa berwujud personal atau lembaga..
Kalau 'di-othak-athik' dengan pengetahuan Jawa awam, Sabda Palon bisa saja berasal dari kata SABDA PA-ALON (ucapan yang di/me-lembutkan) dan Naya Genggong dari kata NAYA GENG-GUNG ('polatan' atau air muka atau figur yang besar dan agung) yang berarti dua tokoh itu adalah figur penting (Penasehat Agung) bagi raja Majapahit.
Terlepas apapun persepsi kata2 itu, pesan fenomenal yang diucapkan kadang membuat kita khawatir karena memuat tentang akan kembalinya agama BUDI dan ancaman akan menjadi 'pangane brekasakan' bagi yang tidak mengikutinya.
Menurut 'gagapan' penulis, kata BUDI tidak merujuk pada agama Budha tetapi lebih pada ajaran agama yang esensial, bukan agama yang dimanfaatkan untuk kepentingan apapun, termasuk kapitalis dan politis kekuasaan.
Budi lebih menuju kepada kesadaran-diri bahwa kita adalah makhluk Tuhan yang benar2 tak berdaya sehingga kita bisa bersikap rendah hati dihadapan Sang Pencipta dan makhluk lain yang diciptakan oleh-NYA.
Kedudukan kita laksana titik yang ada dibawah BA' (huruf Hijaiyah), begitu kecil dan rendah dibandingkan huruf BA' itu sendiri, apalagi dibanding untaian huruf yang membentuk kata, kalimat, cerita dan riwayat2 panjang yang me-legenda, serta kitab2 suci yang di-imani oleh umat manusia.
Karena bingung mengungkapkan keadaan saat ini, maka saya ikut2-an saja 'ngidung' dengan meminjam karya Sri Narendra Kalaseba: Kidung Wahyu Kalaseba, diiringi MIDI Music ditambah Gong gamelan Jawa.
Penulis sengaja memberi ilustrasi disana dengan kepulan dupa atau kemenyan supaya tampak magis. Saya tidak memakai Bukhur oleh2 dari Mekah sebagaimana yang penulis ceritakan di Facebook: 'Anang Ki Gede Pangrango' tanggal 31 Desember 2023.
Ini link-nya:
KIDUNG WAHYU KALASEBA
--<an20240812_1715>--