Wayang Climen (minimalis) yang ini hanya ide dadakan (tiba-tiba) dari almarhum mas Triyono, Prujakan, yang mana saat itu seorang pecinta karawitan-pedalangan; mas Eko Bedjo Mulyono yang tinggal di barat lampu APILL pertigaan Candisari, Jl. Kaliurang km.11 akan mengadakan tahlil (baca doa) peringatan 1000 hari wafat Ibuk-nya.
Semula hanya akan menggelar karawitan, tapi sehari sebelumnya mas Tri datang ke rumah, saya diminta mayang dengan lakon Pandhu Swarga. Teman itu datang pada Sabtu petang dan pergelaran itu akan diselenggarakan pada Minggu malam (malam Senin), 18 Februari 2018. Akhirnya, ya sak eling-e, sak kecandhak-e saja.
Link video Youtube:
Tidak menyangka bahwa wayangan climen itu justru akan menjadi model yang marak pada masa Covid-19 dimana saat itu pergelaran wayang dibatasi durasinya, juga dibatasi penontonnya. Perangkatnya-pun lebih simple, hanya menggunakan gawangan kelir standard Mataraman (lebar 3 atau 4 meter) dan hanya menggunakan gamelan Slendro. Bedanya, pada masa Covid-19 semua seniman harus menggunakan masker atau pelindung wajah (face shield).
Ternyata nyaris pas dua tahun selisih peristiwa itu. Wayang Climen tanggal 18 Februari 2018, dua tahun berikutnya, tanggal 21 Februari 2020 ada peristiwa duka Susur Sungai SMPN 1 Turi, kemudian disusul tanggal 02 Maret 2020 Covid-19 masuk di Indonesia.
Barangkali model wayangan ini mengingatkan kita pada era 70-an dimana wayangan di kampung saat itu style-nya seperti Wayang Climen.
Tentu wayang ini masih bisa dikembangkan di masyarakat umum mengingat harga sebuah pergelaran wayang saat ini begitu mahal, nyaris hanya instansi pemerintah, lembaga swasta tertentu, atau orang yang berkelimpahan harta saja yang bisa me-nanggap.
Marilah kita menghidupkan kembali pedalangan di kampung-kampung dengan mendaya-gunakan potensi yang ada; pengrawit, waranggana dan dalang lokal. Dengan begitu wayang akan semarak lagi.
--<an20251015_0128>--
.