15/12/2015

Komunitas Relawan "BAGONG"


Sore setelah maghrib, penulis tertidur karena kecapekan. Jam 18.14 listrik padam, tetap tidur, toh nanti juga hidup lagi setelah hujan reda.

Tak lama Ketua RT 06 Rejosari Sardonoharjo (pak Saniyo) datang, minta supaya penulis menunggui petugas PLN (yang mematikan aliran listrik) dan teman-teman dari Komunitas Relawan "BAGONG" yang sudah dikontak.

Ternyata ada pohon Mindi yang roboh (karena akarnya lapuk) menimpa tembok longkangan rumah penduduk, melintang jalan yang menuju dusun Gondangan.

Melihat kerja teman-teman "BAGONG" itu, ada rasa kagum tapi juga khawatir karena pak Unyil yang bertugas membawa Sin-So (chainsaw) memanjat tembok batako dan memotong cabang/ranting pohon yang roboh itu begitu berani, seakan tanpa SOP keselamatan kerja, padahal penerangan hanya mengandalkan senter (batteray) kecil dari warga.

Beberapa saat cabang-cabang pohon itu selesai dipotong, tinggal pohon utama yg tersandar pada beton diatas pintu longkangan itu. Saat kayu diatas beton dapat dipotong dan kabel listrik yang tertimpa itu lepas, pak Unyil tergelincir dari tangga dan tampaknya tangan bisa gondhelan kabel yang akhirnya kabel itu terlepas dan melentur keatas. Tidak tahu bagaimana petugas Relawan itu jatuh kebelakang sambil memegang Sin-So, tapi tak lama kemudian ia sudah mengangkat Sin-So lagi dan memotong kayu hingga pohon itu bisa ditarik, dirobohkan ke selatan.

Setelah selesai, semua pada minum kopi di warung. Penulis sempat tanya ke p.Wied dan p.Unyil: "Penjenengan ki gadhah ilmu napa kok menek kaya cecak, dhawah mboten napa-napa?". Teman itu hanya tertawa.

Ternyata dia tinggal di Nglaban (Gentan), utaranya pak Sosial (p.Zulfan), putrane pak (?) yang dulu menyewakan 'Pengeras Suara'. Padahal dulu saat kecil (tahun 76-an) penulis sering main ke dhik Iping (M. Zainal Arifin; putrane paklik Daromi & bu Arodah).

Yang harus di-apresiasi adalah bahwa teman-teman komunitas Relawan "BAGONG" itu benar-benar pekerja sosial untuk membantu masyarakat yang membutuhkan.

Setelah minum kopi & rokok sekedarnya, pak RT dan penulis akan memberikan uang pengganti bensin untuk Sin-So, tapi semua menolak karena komitmennya pada tugas Relawan. Ya, kami atas nama masyarakat bisanya hanya mengucapkan terima kasih, semoga jadi amal kebaikan yang akan mendapat balasan dariNYA.

Malam itu dengan pak RT duduk-duduk di warung sambil nunggu petugas PLN lagi. Karena prediksinya akan datang sekitar jam 23-an, akhirnya pulang. Ternyata jam 23.35 listrik sudah menyala.

Pagi ini tadi (15 Des 2015) karena listrik padam lagi, penulis sempat melihat ke lokasi dan memotret. Ternyata disana ada banyak petugas PLN yang bekerja mengganti kabel listrik dan kawat spanner tiang listrik yang putus di Gondangan.













20/06/2015

GENERASI ABAD 21


Sebenarnya gambar ini sudah lama di-upload, tapi lupa belum di-publish. Meski agak terlihat ngantuk, tapi gagah dan cakep, namanya Farrel (Rajwaa Farreli Rifqi Fauzi). Saat gambar diunggah, dia masih kelas XII (kelas-1)  SMPN 1 Wates.

Info terakhir dari Bapak dan Ibunya (Bp/Ibu Eko Wisnu Wardhana dan Bu Retno Giriarti), katanya sebelum Romadhon 1436H ini sudah membiasakan puasa Senin-Kamis.

 




Farrel punya adik, namanya "Gariza Evan". Anaknya rajin membantu orang tua, suka sepak bola dan sepedaan, tapi sehari-hari tidak mau pisah dengan Ibunya. Foto yang unik lain kali saya upload.

17/06/2015

SETITIK DOA UNTUK KRATON JOGJA



Sebagai rakyat jelata yang berfikiran awam, penulis sempat cemas saat mendengar berita Sabdaraja dan Dhawuhraja dimana tampak seakan-akan antara Sultan HB X dan rayi-rayi dalem berada pada posisi yang saling berseberangan.

Tidak ada kepentingan, apalagi hak atas peristiwa yang tengah terjadi, namun kekhawatiran itu semata-mata karena kecintaan dan besarnya harapan agar Kraton Jogja tetap menjadi ruh perjuangan NKRI.

Pendapat beberapa tokoh dan akademisi yang muncul di media masa terasa begitu spekulatip dan terlalu jauh mendahului makna teks asli Sabdaraja itu, lebih-lebih jika didasarkan pada penjelasan Ngarsa Dalem saat jumpa pers.

Kemantapan hati Sultan saat menyatakan bahwa semua ini berdasarkan wahyu Illahi dan dhawuh dari Leluhur Mataram membuat sebagian besar masyarakat Jogja menjadi sedikit terhibur karena mereka nitèni dari waktu ke waktu atas kejadian diluar nalar dan/atau kontroversi yang justru menyelamatkan negeri ini, meski sebagian masyarakat yang lain mencibir dengan ungkapan: “Hari gini masih bicara wahyu, .. emang lu siapa ..?

Bagi penulis yang dibesarkan di lingkungan orang Jawa, sebutan wahyu adalah familier adanya. Dalam pewayangan dikenal wahyu Widayat, Cakraningrat, Maningrat, Maningkem dan wahyu Senapati (sering disebut sebagai Pulung Senapati  karena kedudukan dan sifatnya yang spesifik), bahkan ada Pulung Lurah yang oleh masyarakat Jawa sering ditunggu kemunculannya saat terjadi pilihan kepala desa.

Sultan HB IX yang berpendidikan Barat-pun mengalami peristiwa yang tidak masuk akal itu. Tahun 1940, saat perundingan dengan Dr. Lucien Adam berjalan sangat alot dan berlarut-larut tanpa hasil, akhirnya Sultan justru percaya pada bisikan: “Tholé, tèken-a waé, Landa bakal lunga saka bumi kéné”, dan naskah kontrak politik itu ditandatangani tanpa diperiksa lagi. Kenyataannya, dua bulan setelah penobatan Sultan, negeri Belanda diduduki oleh tentara Nazi, dan dua tahun berikutnya Belanda benar-benar harus pergi karena serangan tentara Jepang.

Disisi lain, kontroversi di lingkungan Keraton Jawa adalah hal yang biasa terjadi, terutama saat menghadapi peristiwa berskala besar dan mempunyai implikasi yang luas.
Sebelum perjanjian Giyanti, Pangeran Mangkubumi (yang nantinya bergelar Sultan HB I) dicatat oleh “sejarah formal” sebagai pemberontak atas tahta Susuhunan PB II di Surakarta, namun dalam banyak sumber diceritakan bahwa sebenarnya dua bersaudara itu saling sayang dan mengasihi. Susuhunan PB II merestui dan memberikan bekal, bahkan menyertakan pusaka Kanjeng Kyai Plered sebagi bukti bahwa hatinya ikut berjuang melawan penjajah meski secara lahiriah dirinya harus tetap di Kraton karena terikat oleh berbagai aturan.

Kejadian serupa terjadi atas Sultan Hadiwijaya (Pajang) dan Danang Sutawijaya. Diluar tampak saling bermusuhan, namun sebenarnya justru itulah skenario terbaik bagi anak angkat tersayangnya agar tampil sebagai pemimpin yang masak oleh tempaan alam, dan bukan sekedar sebagai pejabat yang terlahir karena Serat Kekancingan (SK).

Demikian juga tindakan Sultan HB VIII yang menitipkan putra-kecilnya (Dorojatun; nantinya bergelar Sultan HB IX) pada keluarga Belanda, itupun langkah kontroversi yang justru menjawab tuntutan masa depan sebagaimana yang sudah dibuktikan oleh sejarah.

Contoh yang lebih dekat dengan era masyarakat saat ini adalah penjelasan Sultan pada acara silaturahmi Direksi dan Redaksi PT. BP. Kedaulatan Rakyat di Gedong Jene (KR, 17 Mei 2015).

Sabdatama sejak 1998 hingga kini  selalu memunculkan polemik, namun menurut penulis, itulah hakikat dari gelar Khalifatullah, menyampaikan/melakukan sesuatu sesuai kehendakNya meski harus dicerca oleh orang lain yang tidak mendengar dhawuh yang bersifat ghoib itu, sementara menurut penjelasan Sultan, sebuah Sabda harus meliputi Sabda-dadi, Sabda-langit dan Sabda-Pandhita-Ratu tan kena wola-wali.

Daripada saling curiga, marilah berdoa, semoga wahyu dan dhawuh Leluhur Mataram yang diterima Ngarsa Dalem itu benar-benar merupakan bentuk kasih-sayang Tuhan dalam rangka mengangkat derajad negeri yang tengah berbenah untuk menyongsong perubahan zaman ini. Tentu, Ngarsa Dalem tidak akan mengatasnamakan sebuah kepentingan pribadi sebagai wahyu dan dhawuh Leluhur karena resiko dihadapan Leluhur dan Sang Pencipta sangatlah besar.

Dilain pihak, kita perlu mengapresiasi langkah rayi-rayi dalem yang memperjuangkan tegaknya paugeran Kraton karena semua itu menjadi bukti menyalanya jiwa ksatria yang penuh pengorbanan tanpa pamrih, semata-mata demi kesejahteraan rakyat, kemuliaan negeri dan pertanggungjawaban pada Tuhan Semesta Alam. 

Semoga yang tampak saling bertentangan itu justru berujung manis, seperti sasmita akhir-akhir ini tentang booming batu mulia  dimana untuk menghasilkan “cincin bermata cantik” diperlukan kerja berat dan cermat; keras ketemu keras, panas ketemu panas, dan akan datang saatnya finishing dengan sesuatu yang lentur, liat, lembut dan halus. Setelah itulah akan muncul batu mulia yang indah dan mempesona.

Barangkali Tuhan sedang menyiapkan pemimpin negeri ini melalui Kraton yang saat ini tampak bergejolak. Diakah pemimpin yang cahayanya akan menerangi Nusantara dan kerasnya mampu menahan benturan/badai sekuat apapun? Wallahu ‘alam.


Naskah "Pikiran Pembaca" yang dikirimkan ke redaksi KR 18-05-2015 (tidak dimuat)

Anang Prawoto
Mahameru_Pancer-Lima, Jakal 10

WAYANG KULIT, DESA BUDAYA SARDONOHARJO


Dalam rangka menggali kembali kantong budaya di Kabupaten Sleman oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman, pada hari Sabtu 18 April 2015 diselenggarakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk oleh 3 dalang setempat: Ki Anang Prawoto (Rejosari-Ngalangan), Ki Subandri (Turen) dan Ki Purwoko (Baransari-Ngalangan) dengan lakon "Wahyu Panca Purba" versi Ki MW. Sugi Cermo Sarjono (Ki Sugi Hadi Karsono) dari Beji, Bantul. Acara tersebut diselenggarakan di Joglo "Lor Lurung" milik H. Suyanto yang berlokasi di dusun Turen, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman (Jl Kaliurang km.11, Pondok Pesantren "Sunan Pandanaran" ke barat 500m).

Pada pagelaran malam itu, hadir Bupati Sleman, Drs. H. Sri Purnomo, M.Si. yang berkenan memberikan sambutan dilanjutkan penyerahan tokoh wayang "Puntadewa" kepada Ki Anang Prawoto.


Pagelaran wayang kulit tersebut disiarkan langsung oleh radio VEDAC (PPPG Kesenian, Klidon Sukoharjo) yang menempati frekuensi 99,0MHz FM.

Berita selengkapnya menyusul.