17/06/2015

SETITIK DOA UNTUK KRATON JOGJA



Sebagai rakyat jelata yang berfikiran awam, penulis sempat cemas saat mendengar berita Sabdaraja dan Dhawuhraja dimana tampak seakan-akan antara Sultan HB X dan rayi-rayi dalem berada pada posisi yang saling berseberangan.

Tidak ada kepentingan, apalagi hak atas peristiwa yang tengah terjadi, namun kekhawatiran itu semata-mata karena kecintaan dan besarnya harapan agar Kraton Jogja tetap menjadi ruh perjuangan NKRI.

Pendapat beberapa tokoh dan akademisi yang muncul di media masa terasa begitu spekulatip dan terlalu jauh mendahului makna teks asli Sabdaraja itu, lebih-lebih jika didasarkan pada penjelasan Ngarsa Dalem saat jumpa pers.

Kemantapan hati Sultan saat menyatakan bahwa semua ini berdasarkan wahyu Illahi dan dhawuh dari Leluhur Mataram membuat sebagian besar masyarakat Jogja menjadi sedikit terhibur karena mereka nitèni dari waktu ke waktu atas kejadian diluar nalar dan/atau kontroversi yang justru menyelamatkan negeri ini, meski sebagian masyarakat yang lain mencibir dengan ungkapan: “Hari gini masih bicara wahyu, .. emang lu siapa ..?

Bagi penulis yang dibesarkan di lingkungan orang Jawa, sebutan wahyu adalah familier adanya. Dalam pewayangan dikenal wahyu Widayat, Cakraningrat, Maningrat, Maningkem dan wahyu Senapati (sering disebut sebagai Pulung Senapati  karena kedudukan dan sifatnya yang spesifik), bahkan ada Pulung Lurah yang oleh masyarakat Jawa sering ditunggu kemunculannya saat terjadi pilihan kepala desa.

Sultan HB IX yang berpendidikan Barat-pun mengalami peristiwa yang tidak masuk akal itu. Tahun 1940, saat perundingan dengan Dr. Lucien Adam berjalan sangat alot dan berlarut-larut tanpa hasil, akhirnya Sultan justru percaya pada bisikan: “Tholé, tèken-a waé, Landa bakal lunga saka bumi kéné”, dan naskah kontrak politik itu ditandatangani tanpa diperiksa lagi. Kenyataannya, dua bulan setelah penobatan Sultan, negeri Belanda diduduki oleh tentara Nazi, dan dua tahun berikutnya Belanda benar-benar harus pergi karena serangan tentara Jepang.

Disisi lain, kontroversi di lingkungan Keraton Jawa adalah hal yang biasa terjadi, terutama saat menghadapi peristiwa berskala besar dan mempunyai implikasi yang luas.
Sebelum perjanjian Giyanti, Pangeran Mangkubumi (yang nantinya bergelar Sultan HB I) dicatat oleh “sejarah formal” sebagai pemberontak atas tahta Susuhunan PB II di Surakarta, namun dalam banyak sumber diceritakan bahwa sebenarnya dua bersaudara itu saling sayang dan mengasihi. Susuhunan PB II merestui dan memberikan bekal, bahkan menyertakan pusaka Kanjeng Kyai Plered sebagi bukti bahwa hatinya ikut berjuang melawan penjajah meski secara lahiriah dirinya harus tetap di Kraton karena terikat oleh berbagai aturan.

Kejadian serupa terjadi atas Sultan Hadiwijaya (Pajang) dan Danang Sutawijaya. Diluar tampak saling bermusuhan, namun sebenarnya justru itulah skenario terbaik bagi anak angkat tersayangnya agar tampil sebagai pemimpin yang masak oleh tempaan alam, dan bukan sekedar sebagai pejabat yang terlahir karena Serat Kekancingan (SK).

Demikian juga tindakan Sultan HB VIII yang menitipkan putra-kecilnya (Dorojatun; nantinya bergelar Sultan HB IX) pada keluarga Belanda, itupun langkah kontroversi yang justru menjawab tuntutan masa depan sebagaimana yang sudah dibuktikan oleh sejarah.

Contoh yang lebih dekat dengan era masyarakat saat ini adalah penjelasan Sultan pada acara silaturahmi Direksi dan Redaksi PT. BP. Kedaulatan Rakyat di Gedong Jene (KR, 17 Mei 2015).

Sabdatama sejak 1998 hingga kini  selalu memunculkan polemik, namun menurut penulis, itulah hakikat dari gelar Khalifatullah, menyampaikan/melakukan sesuatu sesuai kehendakNya meski harus dicerca oleh orang lain yang tidak mendengar dhawuh yang bersifat ghoib itu, sementara menurut penjelasan Sultan, sebuah Sabda harus meliputi Sabda-dadi, Sabda-langit dan Sabda-Pandhita-Ratu tan kena wola-wali.

Daripada saling curiga, marilah berdoa, semoga wahyu dan dhawuh Leluhur Mataram yang diterima Ngarsa Dalem itu benar-benar merupakan bentuk kasih-sayang Tuhan dalam rangka mengangkat derajad negeri yang tengah berbenah untuk menyongsong perubahan zaman ini. Tentu, Ngarsa Dalem tidak akan mengatasnamakan sebuah kepentingan pribadi sebagai wahyu dan dhawuh Leluhur karena resiko dihadapan Leluhur dan Sang Pencipta sangatlah besar.

Dilain pihak, kita perlu mengapresiasi langkah rayi-rayi dalem yang memperjuangkan tegaknya paugeran Kraton karena semua itu menjadi bukti menyalanya jiwa ksatria yang penuh pengorbanan tanpa pamrih, semata-mata demi kesejahteraan rakyat, kemuliaan negeri dan pertanggungjawaban pada Tuhan Semesta Alam. 

Semoga yang tampak saling bertentangan itu justru berujung manis, seperti sasmita akhir-akhir ini tentang booming batu mulia  dimana untuk menghasilkan “cincin bermata cantik” diperlukan kerja berat dan cermat; keras ketemu keras, panas ketemu panas, dan akan datang saatnya finishing dengan sesuatu yang lentur, liat, lembut dan halus. Setelah itulah akan muncul batu mulia yang indah dan mempesona.

Barangkali Tuhan sedang menyiapkan pemimpin negeri ini melalui Kraton yang saat ini tampak bergejolak. Diakah pemimpin yang cahayanya akan menerangi Nusantara dan kerasnya mampu menahan benturan/badai sekuat apapun? Wallahu ‘alam.


Naskah "Pikiran Pembaca" yang dikirimkan ke redaksi KR 18-05-2015 (tidak dimuat)

Anang Prawoto
Mahameru_Pancer-Lima, Jakal 10

No comments:

Post a Comment