SASMITA GHOIB TANAH JAWA
Jogja, 26 Oktober 2010
Sekitar 3 minggu yang lalu, tersebar himbauan untuk masyarakat Jogja agar berkenan memasak sayur lodheh yang terdiri dari 8 jenis sayuran. Entah itu benar-benar dhawuh Dalem Sultan Hamengkubuwono X melalui para abdi dalem, entah ini sekedar spekulasi pihak-pihak tertentu yang akan mengambil keuntungan, atau bahkan ini merupakan ulah nakal juragan sayur supaya dagangannya laku keras.
Bahan sayuran (bakal jangan) yang dianjurkan itu adalah; nangka muda (gori), paria ular (pare ula), kulit melinjo, pepaya, kacang panjang (kacang gleyor), jipang dan gambas (termemes).
Menurut pemantauan penulis, masyarakat di Jogja utara kelihatannya banyak yang telah membuat sayur itu tanpa berfikir macam-macam. Doanya hanya mohon keselamatan kepada Tuhan, toh dulu sebelum Pisowanan Ageng menjelang lengsernya pak Harto, masyarakat Jogja juga membuat sayur semacam itu, hanya bahannya saja yang berbeda (lompong dll dimasak gurih; tidak pedas). Kenyataannya, perhelatan akbar yang melibatkan sekitar sejuta orang itu benar-benar tanpa kerusuhan, sementara rencana pertemuan akbar di depan gedung MPR yang akan menampilkan politisi terkenal, batal dilaksanakan karena pertimbangan keamanan.
Bagi orang Jawa yang paham dengan sasmita dan semu, tentu tidak terkejut dengan merebaknya kabar yang seolah-olah menjadi dhawuh itu. Semua bahan yang dianjurkan, akan diterjemahkan dengan skenario alam semesta sebagaimana pada jamannya Sri Aji Jayabaya dulu, ada seorang pertapa bernama Ajar Subroto yang memaparkan jangkaning jagad (tanah Jawa) melalui simbol-simbol ubarampe sesaji. Jika Tuhan berkehendak, tak mustahil seorang Ajar Subroto dan Sri Aji Jayabaya mengetahui rahasia alam semesta, meski keduanya harus terlebih dahulu berguru pada Syech Syamsu Zein, ulama dari Ngerum.
Alhamdulillah, pada Kamis Kliwon 14 Oktober 2010, penulis bersama teman-teman (pak Parji, pak Broto, pak Sudi, pak Karyat, pak Wiji dan pak Pur) sempat mencicipi sayur itu di padhepokan Pancer-Lima setelah kerja bhakti membongkar ubin (tegel) hingga menjelang Maghrib.
Tak lama setelah terlaksananya dhawuh membuat sayur 8 macam itu, muncul lagi dhawuh untuk membuat rujak dheplok dari 5 macam buah; jambu mete, bakal buah (pentil) jambu kluthuk, pisang (gedhang) kluthuk muda, bakal buah nangka (babal) dan gula aren.
Tadi malam saat kumpul-kumpul di padhepokan Dana Warih-2 (Baransari) bersama pak Kusmanto, pak Karyat, Ki Purwoko dan pak Broto (setelah ada tamu dari Mabes Polri, ditemui pak Kusmanto dan pak Broto), penulis tersadar akan makna simbolik dari ubarampe itu.
Sebagaimana status Merapi yang pagi hari kemarin (Senin Legi, 25 Oktober 2010) jam 06.00 dinaikkan dari Siaga ke Awas, jelaslah bahwa dua kali dhawuh itu memang berhubungan dengan gunung teraktif didunia; Merapi, yang sedang punya gawe itu.
Dhawuh pertama berhubungan anjuran Sultan HB X (Ngarsa Dalem) kepada aparat untuk mempersiapkan infrastruktur pada radius 7 km dari puncak Merapi, sedangkan rujak dheplok itu berhubungan dengan sesuatu yang akan dimuntahkan dari kawah (kepundan) gunung yang konon menjadi tempat berkumpul dan berkaryanya para empu Kahyangan.
Saya takut menduga-duga dan bercerita panjang lebar akan sasmita ini karena barangkali masih banyak hal yang menjadi rahasia Alam, tetapi mestinya kita tidak perlu heran dan terkejut seperti beberapa tahun yang lalu saat Mbah Marijan seakan-akan berbeda pendapat dengan Gubernur DIY (Sultan HB X). Kalau kita jeli, tentu akan tersenyum melihat kejadian-kejadian semacam itu, pun pula jika sekarang kita mendengar Mbah Marijan seakan-akan menghindari wartawan dan tidak mau komentar tentang Merapi.
Semoga masyarakat Yogya tetap aman dari bencana alam, tenang dari pertikaian politik dan tidak terpancing dengan kelambatan RUUK. Juga tidak ada lagi komentar pak SBY yang bersifat menyindir (sarkasme) dengan ungkapan yang melukai rakyat Jogja: "Raja merangkap Gubernur, adanya hanya Ratu Kethoprak".
No comments:
Post a Comment