Sebagai rakyat jelata yang
berfikiran awam, penulis sempat cemas saat mendengar berita Sabdaraja dan Dhawuhraja dimana tampak seakan-akan antara Sultan HB X dan rayi-rayi dalem berada pada posisi yang
saling berseberangan.
Tidak ada kepentingan, apalagi
hak atas peristiwa yang tengah terjadi, namun kekhawatiran itu semata-mata
karena kecintaan dan besarnya harapan agar Kraton Jogja tetap menjadi ruh
perjuangan NKRI.
Pendapat beberapa tokoh dan
akademisi yang muncul di media masa terasa begitu spekulatip dan terlalu jauh
mendahului makna teks asli Sabdaraja
itu, lebih-lebih jika didasarkan pada penjelasan Ngarsa Dalem saat jumpa pers.
Kemantapan hati Sultan saat
menyatakan bahwa semua ini berdasarkan wahyu
Illahi dan dhawuh dari Leluhur
Mataram membuat sebagian besar masyarakat Jogja menjadi sedikit terhibur
karena mereka nitèni dari waktu ke
waktu atas kejadian diluar nalar dan/atau
kontroversi yang justru menyelamatkan negeri ini, meski sebagian masyarakat
yang lain mencibir dengan ungkapan: “Hari
gini masih bicara wahyu, .. emang lu siapa ..?”
Bagi penulis yang dibesarkan di
lingkungan orang Jawa, sebutan wahyu adalah familier adanya. Dalam pewayangan
dikenal wahyu Widayat, Cakraningrat, Maningrat, Maningkem dan wahyu Senapati (sering
disebut sebagai Pulung Senapati karena kedudukan dan sifatnya yang spesifik),
bahkan ada Pulung Lurah yang oleh
masyarakat Jawa sering ditunggu kemunculannya saat terjadi pilihan kepala desa.
Sultan HB IX yang berpendidikan
Barat-pun mengalami peristiwa yang tidak masuk akal itu. Tahun 1940, saat
perundingan dengan Dr. Lucien Adam berjalan sangat alot dan berlarut-larut
tanpa hasil, akhirnya Sultan justru percaya pada bisikan: “Tholé, tèken-a waé, Landa bakal lunga saka bumi kéné”, dan naskah kontrak
politik itu ditandatangani tanpa diperiksa lagi. Kenyataannya, dua bulan
setelah penobatan Sultan, negeri Belanda diduduki oleh tentara Nazi, dan dua
tahun berikutnya Belanda benar-benar harus pergi karena serangan tentara
Jepang.
Disisi lain, kontroversi di
lingkungan Keraton Jawa adalah hal yang biasa terjadi, terutama saat menghadapi
peristiwa berskala besar dan mempunyai implikasi yang luas.
Sebelum perjanjian Giyanti,
Pangeran Mangkubumi (yang nantinya
bergelar Sultan HB I) dicatat oleh “sejarah formal” sebagai pemberontak atas
tahta Susuhunan PB II di Surakarta, namun dalam banyak sumber diceritakan bahwa
sebenarnya dua bersaudara itu saling sayang dan mengasihi. Susuhunan PB II
merestui dan memberikan bekal, bahkan menyertakan pusaka Kanjeng Kyai Plered sebagi bukti bahwa hatinya ikut berjuang melawan penjajah meski secara lahiriah
dirinya harus tetap di Kraton karena terikat oleh berbagai aturan.
Kejadian serupa terjadi atas
Sultan Hadiwijaya (Pajang) dan Danang
Sutawijaya. Diluar tampak saling bermusuhan, namun sebenarnya justru itulah
skenario terbaik bagi anak angkat tersayangnya agar tampil sebagai pemimpin
yang masak oleh tempaan alam, dan bukan sekedar sebagai pejabat yang terlahir
karena Serat Kekancingan (SK).
Demikian juga tindakan Sultan HB
VIII yang menitipkan putra-kecilnya (Dorojatun;
nantinya bergelar Sultan HB IX) pada keluarga Belanda, itupun langkah
kontroversi yang justru menjawab tuntutan masa depan sebagaimana yang sudah
dibuktikan oleh sejarah.
Contoh yang lebih dekat dengan
era masyarakat saat ini adalah penjelasan Sultan pada acara silaturahmi Direksi
dan Redaksi PT. BP. Kedaulatan Rakyat di Gedong
Jene (KR, 17 Mei 2015).
Sabdatama sejak 1998 hingga kini selalu memunculkan polemik, namun menurut penulis,
itulah hakikat dari gelar Khalifatullah,
menyampaikan/melakukan sesuatu sesuai kehendakNya meski harus dicerca oleh
orang lain yang tidak mendengar dhawuh
yang bersifat ghoib itu, sementara
menurut penjelasan Sultan, sebuah Sabda
harus meliputi Sabda-dadi, Sabda-langit dan Sabda-Pandhita-Ratu tan kena wola-wali.
Daripada saling curiga, marilah berdoa,
semoga wahyu dan dhawuh Leluhur Mataram
yang diterima Ngarsa Dalem itu benar-benar
merupakan bentuk kasih-sayang Tuhan dalam rangka mengangkat derajad negeri yang
tengah berbenah untuk menyongsong perubahan zaman ini. Tentu, Ngarsa Dalem tidak akan mengatasnamakan
sebuah kepentingan pribadi sebagai wahyu dan dhawuh Leluhur karena resiko dihadapan Leluhur dan Sang Pencipta sangatlah
besar.
Dilain pihak, kita perlu
mengapresiasi langkah rayi-rayi dalem
yang memperjuangkan tegaknya paugeran
Kraton karena semua itu menjadi bukti menyalanya jiwa ksatria yang penuh
pengorbanan tanpa pamrih, semata-mata demi kesejahteraan rakyat, kemuliaan
negeri dan pertanggungjawaban pada Tuhan Semesta Alam.
Semoga yang tampak saling
bertentangan itu justru berujung manis, seperti sasmita akhir-akhir ini tentang booming
batu mulia dimana untuk menghasilkan
“cincin bermata cantik” diperlukan kerja berat dan cermat; keras ketemu keras, panas
ketemu panas, dan akan datang saatnya finishing
dengan sesuatu yang lentur, liat, lembut dan halus. Setelah itulah akan muncul
batu mulia yang indah dan mempesona.
Barangkali Tuhan sedang
menyiapkan pemimpin negeri ini melalui Kraton yang saat ini tampak bergejolak.
Diakah pemimpin yang cahayanya akan menerangi Nusantara dan kerasnya mampu
menahan benturan/badai sekuat apapun? Wallahu
‘alam.
Naskah "Pikiran Pembaca" yang dikirimkan ke redaksi KR 18-05-2015 (tidak dimuat)
Anang Prawoto
Mahameru_Pancer-Lima,
Jakal 10