20/05/2020

WALI TERLAHIR DALAM SEPI


Hari ini tanggal 30 Romadhon 1441H berarti besok pagi sudah lebaran.

Sementara Covid-19 masih belum reda, kerinduan kita untuk bertemu kerabat dan sanak saudara juga begitu menggoda. Tetapi apakah kita akan spekulasi dengan keselamatan diri sendiri dan orang-orang terkasih kita?

Seyogyanya kita lebih mengutamakan keselamatan jiwa daripada memperturutkan rasa kangen dan kerinduan yang sebenarnya masih bisa kita curahkan dengan wujud yang lain dengan memanfaatkan media teknologi yang ada.

Jangan kita terjebak pada suasana ceria, penuh canda tawa atau bahkan hingar bingarnya hiburan tanpa menyadari bahwa kita bisa menjadi carrier atau justru yang akan tertular virus itu.

Mari kita patuhi anjuran pemerintah, baik dalam lebaran besok maupun dalam pelaksanaan ibadah, termasuk sholad Ied. Jadikan wabah (pandemi) virus Corona ini sebagai ketentuan Tuhan yg justru menghadirkan banyak hikmah.

Kita harus mulai belajar pada pengalaman 'orang-orang yang selalu rindu Tuhan'. Mereka bisa bersilaturahmi dengan Dzat Maha Suci itu dalam suasana hening, sepi dan menyendiri, bukan dalam keramaian.

Bukankah perintah i'tikaf itu sendiri hakekatnya adalah latihan untuk menyepi agar kita makin dekat dengan Sang Pencipta?

Kita tidak tahu, dari sekian ratus juta umat yang merasa khusyu' sholatnya, adakah yg telah berhasil berkomunikasi dua arah dengan Allah SWT? Padahal, saat para sahabat merasa 'nelangsa' (kata 'iri hati' tidak pas untuk konteks ini) karena tidak bisa melakukan mi'raj seperti Rasulullah SAW, beliau  menyampaikan bahwa mi'raj-nya para sahabat dan umat Rasul adalah melalui sholat.

Di sisi lain, Nabi Khidir telah mencontohkan bagaimana dirinya bisa berkomunikasi dengan Tuhannya sehingga setiap apa yang dilakukan semata-mata karena perintah atau petunjuk Rabb-nya yang mana Nabi Musa-pun tak mampu menangkap 'komunikasi ghoib' itu, padahal saat itu Nabi Musa adalah alim-alimnya orang ditengah bangsa Israel yang terkenal cerdas, pintar dan super kritis.

Syech Abdul Qodir Al Jailani, adalah contoh tokoh sufi yang pernah dibimbing oleh Baginda Khidir untuk 'menyepi' selama 7 tahun di bawah reruntuhan bangunan di padang pasir hingga mendapatkan maqom (derajad spiritual) sebagai Sulthon Auliya' (raja atau penghulu para Waliullah seluruh dunia) melalui laku tawadhu' (rendah hati), menghormati guru dan para pendahulunya (hingga pernah ditemui Rasulullah dan Sayyidina Ali secara ghoib), dan tentu selalu mendekat pada Sang Khaliq melalui thoreqot-nya di tempat sepi.

Di tanah Jawa, kita kenal cerita tentang Raden Sahid atau Brandhal Lokajaya yang setelah bertaubat digembleng oleh Sunan Bonang di tepi sungai yang sepi selama 3 tahun hingga akhirnya menjadi seorang Waliullah yang masyhur dan  legendaris; Kanjeng Sunan Kalijaga.

Waliullah yang menjadi anggota dewan Wali Sanga Kasultanan Demak Bintara, dan satu-satunya yang suka mengenakan ageman kejawen berwarna wulung (ungu kehitam-hitaman) ini, pada masa berikutnya juga menerapkan 'kurikulum kewalian' dengan thoriqot di tempat yang sunyi di tengah hutan atau padang rumput Alang-alang hingga munculnya Waliullah generasi berikutnya; Sunan Geseng (berkulit hitam karena terbakar di tengah kobaran padang rumput Alang-alang).

Apakah sekarang kita akan  berbangga dihadapan para Waliullah, atau para sahabat, atau bahkan pada Rasulullah karena kita bisa memaksakan diri untuk tetap melakukan ibadah formal di masjid-masjid yang sangat mewah dengan setelahnya selalu selfie untuk updating status di Smartphone-nya?

Kenapa kita tidak malu dengan para Waliullah yang karena rindunya pada Allah justru memilih tempat sepi dan sunyi agar sapaan dan perintah Tuhan dapat didengar tanpa gangguan kebisingan duniawi?

Marilah kita manfaatkan Covid-19 ini untuk setidaknya 'ngicipi' thoriqot-nya para Wali dan bukan sebaliknya, memaksakan diri untuk hal-hal yang sifatnya formal, apalai kalau hanya untuk selfie dengan tujuan gagah-gagahan dan mendapatkan kebanggaan kosong setelah sahabat-sahabat kita berdecak kagum melihat status Android kita.

Akankan kasih Tuhan hny kita tukar dengan kebanggaan semacam itu? Wallahu a'lam bish-showab.

--[an20200523_0823]--

No comments:

Post a Comment