21/10/2020

MENERKA MAKNA ULAR DI MAGANGAN KRATON JOGJA

 

Pagi itu, Kamis, 15 Oktober 2020, teman datang ke ruang penulis, tetapi karena urusan pekerjaan yang mendesak, teman itu hanya menunjukkan foto 'ular melingkar di saka Magangan' dan bilang untuk nanti cerita diteruskan lagi. Tetapi hari itu, penulispun juga harus luncur ke Sleman untuk sebuah ATK yang tertinggal karena kelalaian pada Rabu malam-nya, dan pagi itu harus meyakinkan benda itu ada dimana.

Hari ini penulis coba cek ke beberapa surat kabar online, ternyata banyak yang menulis peristiwa itu, bahkan diperkuat dengan pernyataan Romo Tirun (KRT. Jatiningrat) bahwa kejadian itu aneh, misterius, tapi memang banyak hal aneh sering terjadi di Kraton.

 

Ular Yogyakarta

Foto dari: 

https://nusadaily.com/nusantara/ular-melingkari-soko-bangsal-magangan-keraton-yogyakarta-pertanda-apa.html

 

Tentu peristiwa itu memunculkan banyak spekulasi, ada yang menganggap itu hal biasa sebagaimana perubahan cuaca dari kemarau menuju penghujan, ular akan mencari tempat baru yang lebih nyaman.

Apa pula yang menganggap bahwa gambar itu hanya karya kreatif para ahli Photoshop, Coreldraw atau aplikasi grafis yang lain, yang dengan kepiawaian tangannya bisa membuat gambar yang seolah-olah nyata, tampak bukan editan.

Sisi yang lain, ada yang menghubungkan peristiwa itu dengan kondisi demo UU Cipta Kerja yang berkepanjangan dan anarkhis.

Yang lain dan yang klenik, menghubungkan peristiwa itu dengan sasmita kondisi negeri ini, apalagi Romo Tirun yang notabene cucu Sultan HB VIII itu menanyakan dan menegaskan bahwa sisik ular itu seperti 'beras wutah' yang dalam dunia tosan aji itu merupakan salah satu jenis pamor keris; wos wutah atau beras wutah yang bermakna doa kemakmuran atau kelimpahan bahan pangan.

Terus, makna sesungguhnya apa?

Ya tentu kita tidak tahu.

Tapi mari kita runut rangkaian peristiwa yang unik.

 

Pertama: pada tanggal 20 Oktober 2019 pasangan Presiden-Wakil Presiden (Ir. Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin) dilantik.

Kedua: pada akhir Desember 2019 Wuhan (Hubei, China) terjangkit Corona-19, dan Indonesia masih tenang-tenang saja.

 Foto (Cropping): https://www.google.com/maps/place/Hubei,+China/

Benarkah ini wabah alami? Atau ini sebuah perang baru dengan menerapkan senjata Biologi? Tidak mudah untuk menemukan kebenaran berita yang sudah hirup-pikuk dan masif.


Ketiga: pada bulan Februari, terjadi musibah susur sungai Kali Sempor yang meminta korban 10 siswi SMP Negeri Turi, Sleman, DIY.  Dalam peristiwa itu salah satu inisiator MAHAMERU harus bertanggungjawab bersama dua rekannya. Alhamdulillah guru-guru itu ikhlas menjalani konsekuensi  hukum sebagai bentuk penyesalan, rasa empati dan laku prihatin.

Sebenarnya, hari Jum'at 21 Februari 2020 itu, saat penulis berhenti di traffic light pertigaan Jl. Palagan dan Jl. Damai, tampak benar betapa mendung di utara sana begitu tebal dan hitam pekat. Dalam hati penulis nggrahita: "Mendung seperti ini kalau tidak puting beliung, petir yang mengerikan, ya hujan sangat lebat".

Ada perasaan menyesal karena saat itu penulis berdoa kepada Tuhan agar mendung itu jangan dulu jatuh menjadi hujan sebelum saya sampai di Pajangan Sleman. Refleks saya meniup awan itu dari jauh, seakan-akan merasa bahwa diri ini sakti dan mampu menghalau awan.

Saat penulis ada di atas panggung wayang di depan Pendapa Kabupaten Purworejo (mensupport teman dalang dari ISI Jogja yang pentas atas fasilitas dari Disbud DIY), phone berdering mengabarkan musibah Kali Sempor.

Dalam hati begitu menyesal, kenapa tadi siang harus berdoa dan berulah seakan-akan orang sekti mandraguna dengan meniup awan. Kalau doa itu diijabah Tuhan, maka penulis harus merasa ikut bersalah karena doa itu semata-mata terdorong rasa egois; ingin tidak kehujanan tapi membiarkan awan hitam itu makin menggumpal dan jatuh menjadi hujan yang luar biasa derasnya hingga mendatangkan bencana. Ini pelajaran baru, ternyata doa yang egois bisa mendatangkan petaka bagi orang lain.


Keempat: Keris Kyai Naga Siluman, pusaka Pangeran Diponegoro (Dipanegara) yang dibawa oleh Belanda pada tahun 1931, dikembalikan ke Indonesia pada tanggal 10 Maret 2020.

Pusaka adalah sipat kandel yang mensugesti pemegangnya merasa lebih dekat dengan Sang Maha Pencipta sehingga keberaniannya meningkat dan semangatnya berapi-api.

Perang Diponegoro atau Perang Jawa selama 5 tahun itu memang rumit. Perang itu bisa dimaknai sebagai perlawanan seorang putra raja yang menghadapi ketidak-adilan, tapi juga bisa dimaknai sebagai perang sabil (perang suci) menegakkan balad Islam karena banyaknya ulama yang berpihak kepada Sang pangeran.

Disisi lain, perang itu juga bisa dimaknai sebagai perlawanan rakyat yang sudah terlalu lama dijajah Belanda, atau perang mengembalikan martabat Keraton Jogja karena ulah negatip oknum perwira dan sinyo-sinyo Belanda yang melecehkan harkat Keraton Jawa, sementara Keraton sejak semula selalu dijaga keagungan dan kesakralannya sebagai tempat suci bersemayamnya seorang Sayyidin Panatagama yang merupakan manifestasi (pangejawantahan) Raja Gung Binathara, Wakil Tuhan di bumi atau Kalifatullah.

Harga yang dibayar untuk Perang Jawa itu bergitu besar. Bukan hanya tenaga dan harta tetapi juga nyawa dan kedaulatan Mataram Yogyakarta yang menjadi sempit karena beberapa wilayah harus diambil oleh Belanda untuk menukar beaya perang.

 

Kelima: Oleh karena wabah (pandemi) Covid-19 yang makin merebak dan banyaknya korban yang silih berganti, lockdown menjadi tindakan tanggap darurat yang diberlakukan dimana-mana meski istilah itu sendiri sangat tidak disarankan karena terkesan sangat mengerikan.

Isolasi mandiri dengan melarang waga keluar masuk kampung, atau melarang sama-sekali orang dari luar  memasuki kampung menjadi tindakan yang diyakini banyak orang sebagai 'yang harus dilakukan'. Penjagaan sangat ketat, melebihi ronda kamtibmas pafa masa-masa sebelumnya. Perangai kita-pun menjadi sedikit sangar karena ketakutan yang berlebihan dan terlalu banyaknya kecurigaan yang berhubungan dengan kesehatan dan keamanan.


Keenam: Peristiwa ular melingkari saka di Magangan itu ada yang menghubungkan dengan 'Ular Ouroboros' yang menjadi simbol siklus keabadian versi Mesir kuna.

Memang kalau mengacu angka, nilai tertinggi adalah sembilan, dan itu bersesuaian dengan peringatan wafatnya Sultan HB IX (saat teman memberitahu tentang ular di Magangan, itu pas Kamis Wage, peristiwanya sendiri konon tanggal 8 Oktober).

Jika sekarang Sultan  HB X diartikan sebagai titik stasioner yang bernilai 10 atau kembali ke 0, maka akan mulailah siklus baru, dari angka 1 yang tentu harus melalui banyak perjuangan karena alam dan jaman sudah berubah.

 

Ketujuh: Kembali ke situasi normal dengan tatanan dan budaya yang baru.

Tapi akankah keadaan itu terjadi bersamaan, nanti Indonesia dengan Ibukota fisik/formal di Jakarta (atau tempat yang baru) dan ibukota ruh NKRI di Mataram (Yogyakarta) akan benar-benar menjadi mercusuar peradaban?

Dan, apakah nanti bebasnya tiga orang guru yang menjalani hukuman karena duka susur sungai Kali Sempor itu akan bersamaan dengan hilangnya Pandemi Covid-19 sehingga anak-anak kita boleh kembali ke sekolah karena gurunyapun sudah boleh kembali ke sekolah?

Wallahu a'lam.

 

Kita tidak punya hak untuk membuat skenario, tetapi setidaknya kita boleh berdoa semoga semuanya akan segera menjadi baik seperti semula, atau bahkan lebih dari itu.

 --[20201021_1030]--

No comments:

Post a Comment