Yk, 06 Desember 2010
Sejak Sunan Amangkurat Jawi berkuasa, sudah ada tokoh bermuka dua yang leluasa berkiprah dengan sifat oportunisnya, itulah Patih Pringgalaya. Satu sisi ia mengabdi raja, sisi yang lain mengabdi pada Belanda, sementara jika terjadi konflik antara raja dan penjajah, sang patih julig itu ngugemi aturan; harus memihak Belanda.
Oleh sebab itu, saat Pangeran Mangkubumi (atas jasa besarnya) mendapatkan hadiah tanah yang luasnya melebihi pangeran-pangeran yang lain, patih julig itu menghasut Van Hohendorff untuk mempengaruhi raja supaya mebatalkan hadiah itu. Kanjeng Sunan termakan oleh hasutan dari duet manusia oportunis itu, dan di pisowanan, sang Pangeran yang nantinya bergelar Sultan Hamengkubuwono I itu dipermalukan.
Pangeran Mangkubumi lolos dari keraton Kartasura, dan pecahlah pemberontakan yang menyebabkan palihan negari Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Inipun sebenarnya politik pecah belah dari penjajah. Oleh itu, jika SBY melakukan politik yang sama, akan sangat disayangkan karena pemerintah meniru politik devide et empera-nya penjajah.
Marilah kita lihat beberapa kejadian beruntun dan terstruktur yang bagi masyarakat Jogja dirasa mengusik ketenangan dan melukai hati terdalam:
- Ada pengingkaran Ijab Qobul Kraton Yogya dengan RI yang saat itu baru merdeka dimana sebenarnya jika Sultan HB IX egois, tawaran Belanda pada dirinya untuk menjadi Wali Negara yang berkuasa di seluruh Jawa-Madura itu mestinya diterima.
- Ada ucapan SBY yang menyebutkan bahawa: "Raja merangkap Gubernur, adanya hanya Ratu Kethoprak".
- Ada ucapan SBY tentang: "Jangan ada monarkhi yang berbenturan dengan konstitusi dan demokrasi".
- Ada ucapan kamuflase SBY saat penyerahan penghargaan Ketahanan Pangan: "Saya dan pak Sultan tidak apa-apa ... diadu-adu ..!! Kita harus sabar pak Sultan ..!". Ucapan ini tidak semestinya diucapkan oleh pelempar polemik. Jika pak SBY hanya sebatas penonton, bolehlah mengucapkan seperti itu, tapi selagi dirinya menjadi penyebab sakit hati rakyat Jogja (semoga Sultan tidak terlalu sakit hati), ucapan itu justru menambah luka.
- Ada ucapan mendagri; Gamawan Fauzi yang dengan gamblang menjelaskan: "Jika Sultan ingin menjadi gubernur, silahkan mendaftar!". Ini lagi-lagi merendahkan martabat Kraton Jogja yang sebelum bergabung dengan RI sudah lebih dulu punya kedaulatan, kemerdekaan dan tatanan yang mapan, serta memiliki wilayah yang jauh lebih luas dari DIY sekarang.
- Ada rumor bahwa pemerintah berpegang pada polling yang hasilnya adalah 71% rakyat Jogja menghendaki pemilihan gubernur. Ini mengherankan, polling oleh siapa dan siapa respondennya? Lagi-lagi pemerintah menyembunyikan identitas lembaga survey itu.
- Ditengah-tengah hiruk-pikuk RUUK Yogya, ee.. kok ya tega-teganya UGM memunculkan opini yang mbarung-sinang, dan narung-binuh dengan komentar Gusti Mung dari Kasunanan Solo dan ahli sejarah (ahli ??) yang menyertainya. Dikatakan, Solo, Pakualaman dan Buton akan segera ikut-ikutan menuntut keistimewaan. Ini, .. lagi-lagi politik pecah-belah. Orang UGM lupa sejarah berdirinya UGM.
- Jangan terpancing emosi, biarkan opini berkembeng dengan liar toh di Jogja ini berlimpah para ahli sejarah dan cendekiawan yang bukan saja piawai tetapi juga berhati nurani. Serahkan pada beliau-beliau itu untuk menguji kebenaran sejati.
- Jangan berbuat anarkhi karena tampaknya memang ada pihak yang menginginkan masyarakat Jogja berbuat salah sehingga citra Jogja akan rusak.
- Meski Kraton Mataram juga tak sepenuhnya terbebas dari sejarah kelam, namun setidaknya kita punya Sultan Agung Hanyokrokusumo, Sultan Hamengkubuwono I, Pangeran Diponegoro dan Sultan Hamengkubuwono IX yang diakui track record-nya. Sultan Hamengkubuwono X, ibarat buah, mestinya jika jatuh tak begitu jauh dari pohonnya.
- Jika Sultan HB X disangsikan kapabilitas dan loyalitasnya pada RI, tokoh-tokoh RI yang lainpun perlu dipertanyakan. Toh sampai sekarang kehebatan RI yang mendewa-dewakan demokrasi dan yang pemerintahannya dikelilingi oleh para Profesor Doktor dan orang-orang billiant, tetap saja tidak mampu menyamai kehebatan Majapahit atau Sriwijaya. Padahal Majapahit dan Sriwijaya itu monarkhi ya.. ??
- Jogja pantang mengemis akan sebuah pengakuan. Jika kasus RUUK ini berlarut-larut dan tak ada ujung-pangkalnya, Insya Allah akan ada peristiwa besar yang justru akan menempatkan Jogja pada taraf kepercayaan tertinggi di negeri ini.
- Fakta sejarah membuktikan, dulu setelah Jogja menyatakan bergabung dengan RI, tak lama kemudian iibukota harus pindah ke Jogja. Ini artinya Jogja lebih hebat karena menjadi benteng terakhir RI.
- Akhir pemerintahan presiden Suharto, pengamanan demo mahasiswa di berbagai tempat harus memakan banyak korban. Pada 20 Mei 1998 dihadapan lebih dari 500 ribu masa, Sultan Hamengkubuwono X dan Sri Paduka Pakualam VIII membacakan maklumat reformasi, dan sehari setelah itu pak Harto mengundurkan diri. Apakah ini sekedar kebetulan? Kerumunan masa pada saat itu sangat mudah untuk dipicu ke arah anarkhis, bahkan rencana demo besar-besaran di depan gedung MPR-DPR Jakarta yang sedianya akan dihadiri pak Amin Rais justru dibatalkan karena pertimbangan keamanan. Kenapa masyarakat Jogja yang ngumpul di alun-alun utara Kraton itu aman-aman saja padahal mereka datang dari 9 penjuru (pintu masuk)?
- Dari sisi emosional dan psikologis, masyarakat Jogja tentu lebih sepakat jika 'tidak ada pemilihan', adanya adalah penetapan. Sultan yang bertahta secara otomatis adalah Gubernur. Jika perlu, tidak usah pakai kata 'Gubernur', adanya ya Sultan itu saja, toh ada Ijab-Qobul yang menyatakan bahwa Sultan bertanggung jawab kepada Presiden. Yang lebih penting sekarang adalah bagaimana perumusan aturan supaya Sultan Jogja tidak tergelincir pada penyalah gunaan kekuasaan seperti SDISK Sunan Amangkurat Agung yang dicatat sejarah sebagai raja yang kejam itu..
- Praktek monarkhi bukan semata-mata menjadi 'trade mark' Kraton saja, penguasa yang dipilih langsung oleh rakyatpun bisa jadi punya kecenderungan main kuasa melebihi seorang Sultan yang negerinya 'Hadiningrat'-nya dikatakan monarkhi.