26/03/2020
SAYUR 7 RUPA UNTUK MENANGKAL VIRUS CORONA?
Pada mulanya, penulis bersama-sama guru karyawan mengikuti koordinasi tentang presensi, piket, dan kelas online dalam rangka antisipasi wabah Corona (Covid-19). Auditorium yang berkapasitas 500-an orang itu menjadi tidak muat karena ada ketentuan 'jarak 1 meter' atau yang lebih populer dengan istilah physical distancing.
Saat mendengarkan instriksi-instruksi, penulis sempat ditanya teman guru Bahasa Jawa yang senang 'Kejawen' tentang dua hal. Pertama: "Kenapa Kraton belum mengarak Kyai Tunggul Wulung' dan kedua: 'Harus menggunakan syarat apa untuk tolak balak ini'.
Pertanyaan pertama saya jawab bahwa (barangkali) ini belum waktunya karena tindakan pencegahan masih sangat mungkin dilakukan asal masyarakat tertib, saling membahu dengan pemerintah, tidak panik, tapi juga jangan 'kemendel'.
Yang menjadi pembanding saya adalah cerita masa kecil saat ada wabah Pes (penyakit yang dibawa oleh tukus) dimana saat itu orang desa sampai minum minyak tanah karena tidak tahu obatnya, dan bingung oleh berbagai keterbatasan; informasi, obat, teknologi kedokteran, jumlah tenaga medis dll. Disisi lain, korban yang meninggal benar-benar seperti Pageblug dalam cerita pewayangan; esuk lara sore mati, sore lara esuk mati, bahkan bisa jadi orang yang pulang melayat akhirnya menjadi layatan. Betul-betul mengerikan.
Pertanyaan kedua, ternyata teman itu justru menjawab sendiri berdasarkan pendapat Ibu-nya. Ngendika-ne keng Ibu itu: "Lele Jawa dimasak mangut", dan itu sanepa bahwa wong Jawa (Jogja hingga Nusantara) semoga diberi ketahanan hidup yang tinggi seperti halnya ikan lele yang bisa hidup dalam lumpur, bahkan bisa pindah ke lain tempat hingga sekian kilo-meter, melintasi daratan tanpa air.
Sehari, dua hari, saya masih ngolak-alik sanepa ikan lele itu, hingga akhirnya teman di Lab/Bengkel men-share adanya 'Dhawuh Ngarsa Dalem (Sultan Hamengkubuwono X)' agar masyarakat Mataram (Jogja) membuat srana tolak balak wabah Corona ini dengan sayur Lodheh tujuh bahan (bakal jangan, seperti saat Reformasi dulu, tetapi tidak memakai lompong). Tidak tanggung-tanggung, foto Ngarsa Dalem-pun disertakan, bahkan itu foto saat sinewaka, lenggah dhampar dengan ageman keprabon.
Jika itu hanya akal-akalan-nya orang iseng, rasanya terlalu berani jika harus kekudhung asma Dalem Sultan, tetapi kalau himbauan itu bukan dari Keraton, tentu ada klarifikasi untuk beberapa hari berikutnya. Toh nyatanya semua adhem-ayem saja. Ini artinya, anjuran itu memang dari Kraton, atau setidaknya jika itu masukan/saran dari penasihat spiritual atau abdi dalem, pihak Krataon sudah paring palilah (mengijinkan), atau sekurang-kurangnya, membolehkan.
Kenapa Sultan tidak dhawuh secara resmi? Tentu banyak sekali pertimbangannya karena tanggapan masyarakan sangat beragam dan dalam era medsos-mania tentu respons netizen tidak dapat dikendalikan, apalagi kalau sudah mengarah pada hal yang bernuansa budaya, tradisi atau sesuatu yang tidak logis bagi otak milenial, tentu akan menuai hujatan yang tak berkesudahan.
Pada acara FGD yang diselenggarakan Disbud DIY tentang 'Simbolisasi Kuda (turangga), Keris (dhuwung) dan Dhalang bagi Kraton Jogja' akhir 2013, penulis pernah menanyakan makna simbol-simbol dalam sesajen Jawa, dan GBPH Yudaningrat mendaulat KH. Abdul Muhaimin (dari Kotagede) untuk menjelaskan.
Kyai yang tenang dan santai itu memaparkan bahwa doa kepada Tuhan bisa diwujudkan dalam bentuk ucapan lisan, tulisan, dan simbol-simbol. Tentu untuk yang terakhir itu, simbol harus di-oncek-i (dikupas) terlebih dahulu agar tahu maksudnya sehingga orang tidak mudah menganggap gugon-tuhon, tahayul, bid'ah atau musyrik.
Jika kini simbolisasi itu marak kembali, marilah kita mencoba memaknai meski sudah ada yang viral pula makna yang mengikuti 'Himbauan Kraton' itu.
Kluwih; ka-LUWIH. Masyarakat kita harus memiliki kelebihan dalam berbagai hal. Dalam konteks wabah, kita punya kearifan lokal, punya banyak upaya dan alternatif, punya kekebalan alami karena mengkonsumsi makanan dan rempah-rempah (termasuk empon-empon; bahan masak atau jamu) hasil bumi sendiri. Maka tentu kita akan lebih percaya diri dan tidak panik, apalagi menghadapi wabah ini dengan gotong royong.
Terong; saaT-E ngeRONG. Rong adalah rumah atau tempat bersembunyinya ular, belut, sidhat, ikan lele dan sejenisnya. Artinya, kita diminta kembali ke Rong (nge-Rong) untuk berlindung, beristirahat, menjalin hubungan yang hangat dengan keluarga dengan penuh kasih-sayang sehingga masing-masing kita mendapatkan keamanan dari ancaman luar.
Dalam himbauan itu, tidak spesifik menggunakan terong ungu (wungu: Jawa). Jika harus ungu, maka artinya, di rumah bukan sekedar tidur, tapi harus selalu berjaga atau terjaga (wungu; bangun dari tidur). Kita harus tetap berkarya, berdoa. dan berbuat amal.
Waluh; uWAL saka LUH. Luh adalah air mata (kesedihan). Ini menjadi permohonan kepada Tuhan agar kita dibebaskan dari suasana yang menyedihkan yang terjadi pada diri kita, keluarga kita, sahabat-sahabat kita atau sesama rakyat Indonesia, atau bahkan sesama umat.
Kacang Panjang; kaCANG gLEYOR. Kacang bisa berarti gancang (segera) atau kencang-kenceng, sedangkan Gleyor bisa bermakna lentur (leyar-leyor). Suasana mencekam ini akan segera berlalu jika disikapi secara kenceng (serius) tetapi fleksibel, mudah beradaptasi, terutama dengan kebijakan negara/pemerintah.
Daun Melinjo; GO-DHONG SO. Mangga (monggo; ejaan jaman dulu) artinya mengajak atau mempersilahkan, dan Dhong artinya tahu, mengerti atau paham. Itu adalah ajakan untuk bisa memahami secara detail tentang segala permasalahan wabah Corona, dari 'A' sampai 'Z'.
Jika SO itu bermakna roSO (rasa; perasaan; hati), maka dalam menghadapi wabah ini kita tetap menggunakan nurani. Kita tidak boleh membuat gaduh dengan menyebar hoax yang menggelisahkan, terlebih mengambil keuntungan dari wabah ini.
Jika SO itu diartikan sebagai pupus (pucuk daun; daun muda), maka kita harus mupus pada pepesthen-ing Gusti. Tapi, untuk pupus itu biasa disimbolkan dengan pupus pisang raja, Jadi SO biarlah tetap berarti roso (rasa) itu.
Kulit mlinjo; Buah Mlinjo (melinjo) itu seperti mimis (peluru), dan kulitnya menyerupai lulang (kulit kerbau/sapi) yang biasa digunakan sebagai jaket tebal. Maksudnya, kita harus mampu meberantas wabah tetapi kita-pun harus membekali diri dengan kekebalan yang berupa asupan makanan, vitamin, obat-obatan dan perilaku sehat sebagaimana yang direkomendasi oleh para ahli dan pemerintah,
Tempe; saaT-E dhedhePE. Saat-e (waktunya) bersandar pada Tuhan dengan banyak beribadah, berdzikir dan berserah diri dalam bentuk-bentuk tertentu. Jika perlu melalui laku prihatin sebagaimana yang disunahkan, atau menggunakan laku yang lebih berat, sebagaimana para Auliya, Waliullah, orang-orang khusus dari yang khusus.
Kenapa harus disayur Lodheh?
Sayur ini menjadi masakan rakyat jelata yang tidak mewah, maksudnya, dalam menghadapi pandemi Covid-19 kita harus menggunakan fasilitas, cara dan pengetahuan yang telah dimiliki masyarakat kita, toh kita ini hanya rakyat jelata pula. Jika dengan cara itu wabah bisa diatasi, apakah kita harus sok-sokan supaya dianggap kelompok eksklusif?
Akhirnya, meski fikiran saya tidak 100% benar, semoga tulisan ini membuat kita tidak skeptis terhadap upaya masyarakat tradisional kita sebagaimana saat teman di kampung bertanya tentang Srana Tolak Balak berupa Sayur 7 macam itu, saya katakan: "Jika itu maksudnya doa kebaikan dan membuat masyarakat tenang, kita masak saja, toh selain itu segar dan enak, hitung-hitung kita nglarisi penjual sayur dan ngrejekeni petani tradisional".
Mohon maaf jika salah,
Wallahu a'lam bish-showab
Gusti Allah lebih tahu tentang ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment